www.idntimes.com
CONTOH PROPOSAL
Oleh Dessy Kristina
BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Bagi beberapa kelompok, perceraian merupakan hal yang
tidak tabu dilakukan terhadap suatu pernikahan.
Secara khusus bagi orang Kristen pun terjadi pandangan demikian. Ada anggapan bahwa jika terjadi perceraian
maka bukan suatu hal yang tidak mungkin bagi manusia untuk menikah kembali,
manusia merasa bahwa itu bukanlah dosa yang harus ditutup-tutupi jaman sekarang
ini.[1]
Menurut pandangan Charles G. Ward dalam bukunya
mengatakan:
“Perceraian dapat
dianggap terjadi ketika pasangan suami istri memutuskan untuk tidak memenuhi
ikatan pernikahan mereka…dan juga merupakan suatu pengalaman yang
menghancurkan, dan luka yang ada di dalam hati memerlukan waktu yang cukup lama
untuk menyembuhkannya”.[2]
Tingkat perceraian di Indonesia terus menerus meningkat.
“Angka perceraian di Indonesia setiap tahunnya bertambah tidak kurang dari 10%;
pada tahun 2009 terjadi 216.286 kasus perceraian, dan di tahun 2010 terjadi
peningkatan menjadi 285.184 perkara”.[3] Sementara data jumlah perceraian tahun 2011
terus-menerus meningkat di seluruh Indonesia.
Penyebab pisahnya pasangan suami dan istri tersebut adalah
ketidakharmonisan sebanyak 91.841 perkara, tidak ada tanggungjawab 78.407
perkara, dan masalah ekonomi 67.891 perkara.
Sedangkan tahun sebelumnya yaitu 2010, tingkat perceraian nasional masih
diangka 216.286 perkara. Angka faktor penyebabnya terdiri atas
ketidakharmonisan 72.274 perkara, tidak ada tanggungjawab 61.128 perkara, dan
faktor ekonomi 43.309 perkara.[4] Meningkatnya angka perceraian memperlihatkan
bahwa kondisi keluarga-keluarga dari masyarakat Indonesia semakin mengalami
penurunan dalam hal kualitas sehingga berdampak pada rentannya usia pernikahan
keluarga dari masyarakat.
Secara khusus di kalangan Kristen, John Stott mencatat
dalam bukunya bahwa, pada tahun 1980 di Inggris berjumlah 409.000 perkawinan, 35%
dari angka tersebut adalah perkawinan kedua.
Pada tahun 2006 yang lalu di
Indonesia mencapai 159.000 angka
perceraian.[5] Menurut
Badan Urusan Peradilan Agama dan Mahkama Agung (MA) peningkatannya mencapai 70
persen, dengan jumlah kasus 285.184 dari tahun 2005 hingga 2010.[6]
Perceraian bukan hanya dialami oleh orang-orang secara
umum tetapi juga secara khusus perceraian dialami oleh orang-orang Kristen.
Di mana beberapa di antara orang Kristen tidak memiliki kebahagiaan
dalam perkawinan.[7]
“Di Negara-negara Barat pun
kondisi yang sama terjadi, jumlah perceraian sangatlah tinggi sebagaimana
dijelaskan oleh Gordon J. Wenham bahwa separuh dari pernikahan diakhiri dengan
kasus perceraian”.[8]
Mendiang Pdt. John
Rice, didalam bukunya yang berjudul
KELUARGA, KENCAN, PERNIKAHAN, DAN ANAK-ANAK (The Home, Courtship, Marriage and Children) mengemukakan
perceraian adalah noda yang berbintikkan keaiban. Keaiban (atau: keadaan yang memalukan) itu
adalah bintik hitam yang memang perlu dipertautkan dengan perceraian.[9]
Pada dasarnya Allah tidak
pernah menghendaki sebuah percerain terjadi di tengah-tengah kehidupan orang
Kristen, karena perceraian telah menyimpang dari jalan dan maksud Allah di mana
adanya sebuah keputusan-keputusan yang kedua-duanya sama-sama bersalah didukung
oleh adanya kesombongan dan kepentingan diri sendiri yang kemudian menimbulkan
terjadinya perceraian dalam rumah tangga. Artinya “Perceraian merupakan
putusnya ikatan pernikahan secara hukum, yang merupakan penyimpangan dari
maksud Allah, akibat dosa pada salah satu atau kedua belah pihak pasangan suami
dan istri”.[10]
Merujuk kepada beberapa data
di atas, banyaknya kasus perceraian di keluarga Kristen menandakan adanya suatu
gejala:
1. Kerusakan
kehidupan pernikahan yang makin meningkat.
2. Tidak
mengerti isi Alkitab tentang Pernikahan.
3. Tidak
punya kuasa Allah dalam menghadapi masalah kehidupan pernikahannya.
4. Tidak
memelihara kehidupan pernikahannya dengan baik.[11]
Dari
problema yang terjadi di atas, seharusnya perceraian tidak terjadi apabila
orang Kristen memahami bahwa pernikahan merupakan mukjizat Allah yang terdiri
atas anugerah, pemberian dan penghiburan Ilahi.
Kehadiran Tuhan dalam pernikahan dan keluarga membuat kehidupan di dalamnya
menjadi bermakna. Maka dalam hal ini, di
dalam sebuah pernikahan perlu adanya persekutuan iman dan kehidupan doa yang
baik (spiritual-intimacy). Sebab ada banyak hal yang penting bagi
anggota keluarga, yaitu iman, kasih dan pengharapan menjadi penopang pernikahan
yang kuat.[12]
Allah
menghendaki kehidupan Kristen dalam rumah tangga berpusat kepada Allah, dan
menempatkan Kristus di tengah-tengah keluarga berdasarkan firman Allah yang
dapat memelihara hidup sehingga tidak terjadi adanya kemungkinan-kemungkinan
bagi orang-orang Kristen untuk mengambil sebuah kuputusan untuk bercerai.[13]
Tuhan
tidak pernah menghendaki manusia untuk bercerai meskipun manusia mengalami
persoalan di dalam sebuah rumah tangganya.
Dalam Roma 7:2-3, Rasul Paulus menekankan yaitu:
Apakah
kamu tidak tahu, saudara-saudara, sebab aku berbicara kepada mereka yang
mengetahui hukum berkuasa atas seseorang selama orang itu hidup? Sebab seorang isteri terikat oleh hukum
kepada suaminya selama suaminya itu hidup.
Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang
mengikatnya kepada suaminya itu.
Allah menghendaki agar orang-orang
yang percaya kepada-Nya tidak melakukan perceraian kecuali perceraian itu
terjadi apabila hanya dipisahkan oleh kematian.
Allah menentang perceraian.
Seperti yang ditegaskan dalam Mal. 2:16a bahwa “Allah sangat membenci perceraian”.
Masalah perceraian dan pernikahan kembali sering
diperdebatkan di kalangan orang-orang Kristen.
Di mana ada dua pertanyaan
penting yang menjadi dasar terjadinya
sebuah perdebatan, yakni: pertama bila pernah, kapankah perceraian diizinkan di
mata Allah, dan kedua, bila pernah, kapan pernikahan kembali diizinkan di mata
Allah.
Allah
membenci perceraian bahkan Allah tidak menginginkan adanya perceraian. Perceraian bukan kehendak Allah. Jadi jika seseorang menikah kembali tetapi
pasangan hidupnya ternyata masih hidup ia sudah dianggap telah berzinah.
Demikian
juga beberapa kasus perceraian dan pernikahan kembali yang terjadi dibeberapa GSPII,
di mana beberapa Gereja melaksanakan praktek pernikahan kembali setelah terjadi
perceraian sebelumnya, disaat pasangan masing-masing masih hidup. Berdasarkan data hasil wawancara yang
diperoleh disalah satu GSPII di Wilayah Timur ini, dengan mengajukan sebuah
pertanyaan: Apakah pernah terjadi pernikahan kembali dan bagaimana seorang
Gembala sidang menghadapi sebuah situasi yang dilematis?
Dalam
wawancara pertama, seorang Gembala sidang berinisial T mengatakan bahwa praktek pernikahan kembali
pernah dilaksanakan di gereja tersebut pada 1999 terhadap satu jemaat, tetapi
bukan dari jemaat tetap, melainkan jemaat pindahan, jadi sifatnya meneguhkan
karena keinginan mereka bukan keinginan Gembala tetapi pada akhirnya kedua pasangan
tersebut bercerai kembali. Menurut Gembala
sidang, dalam menghadapi sebuah situasi yang dilematis tersebut adalah
dikarenakan usia pernikahan pasangan suami dan isteri yang bercerai tersebut masih
terbilang muda dan di satu sisi masih usia produktif, dan jika membiarkan
kondisi tersebut maka akan mudah jatuh ke dalam dosa. Sehingga dalam menghadapi sebuah situasi yang
dilematis tersebut, mungkin menikah kembali akan menolong untuk tidak jatuh ke
dalam berbagai dosa.[14] Kemudian wawancara kedua, seorang Gembala
sidang berinisial A mengatakan bahwa praktek pernikahan kembali belum pernah
terjadi di gereja tersebut.[15] Jadi berdasarkan data yang diperoleh, pada
kenyataannya praktek pernikahan kembali memang pada dasarnya terjadi di
kalangan beberapa GSPII Wilayah Timur ini.
Menurut
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) GSPII Pasal 15 nomor
lima bahwa “Bagi Janda atau Duda karena ditinggal mati pasangannya, dapat
memperoleh pelayanan pemberkatan Nikah Kudus Gereja”.[16] Pada kenyataannya, di beberapa GSPII Wilayah
Timur masih terjadi perceraian dan praktek pernikahan kembali. Sedangkan pada AD/ART GSPII hal tersebut
tidak boleh dilakukan di dalam lingkungan GSPII.
Praktek
pernikahan kembali ini, ada beberapa kasus yang nampak terjadi dalam lingkungan
GSPII secara khusus di Wilayah Timur. Ada kemungkinan terjadinya praktek pernikahan
kembali karena tidak adanya koordinasi antara gereja lokal dengan Sinode. Sehingga Gereja terpaksa untuk mengambil keputusan
tersebut tanpa persetujuan Sinode.[17]
Menurut
pengamatan Penulis, Gereja yang sudah melakukan praktek pernikahan kembali
telah melakukan pelanggaran AD/ART dan melanggar Firman Allah. Tiap Gereja lokal GSPII sudah memiliki AD/ART
dan sudah mengikuti pembinaan masalah AD/ART GSPII, tetapi ada kemungkinan bahwa mereka belum
benar-benar memahami AD/ART GSPII pasal 15 nomor 5. Sehingga muncul sebuah pertanyaan: Sejauh
mana Gembala sidang dan majelis GSPII Wilayah Timur memahami AD/ART dan ajaran
Alkitab, secara khusus tentang perceraian dan pernikahan kembali; Apakah
Gembala Sidang harus terpaksa melakukan praktek pernikahan kembali karena
alasan takut terjadi perpecahan, kehilangan jemaat dan dimana pertanggung jawaban
Alkitabiah secara benar. Atau
kemungkinan ada faktor-faktor lain yang melatarbelakangi dan menjadi motivasi
dari pelaksanaan pernikahan kembali tersebut.
Oleh karena itu melihat beberapa kasus-kasus yang terjadi di lingkungan
GSPII, berkenaan dengan dilakukannya praktek pernikahan kembali di kalangan
orang-orang percaya, seperti yang sudah dipaparkan diatas. Maka penulis merasa tertarik untuk mengangkat
sebuah judul: “Tinjauan Etis Teologis Terhadap Praktek Pernikahan Kembali Di
Gereja Sidang Persekutuan Injili Indonesia (GSPII) Dan Implikasinya Bagi
Pelayanan Di Gereja Sidang Persekutuan Injili Indonesia (GSPII) Wilayah Timur”. Agar
praktek pernikahan kembali dalam kehidupan orang-orang percaya dapat dipahami
secara benar berdasarkan firman Tuhan.
Identifikasi
Masalah
Mengacu pada topik penelitian ini, serta merujuk kepada latar
belakang masalah sebagaimana dipaparkan di atas, maka peneliti mengidentifikasi
beberapa masalah sebagai berikut:
1.
Melihat adanya indikasi
terjadinya praktek perceraian dan pernikahan kembali di GSPII Wilayah Timur, maka
yang menjadi pertanyaan, bagaimana pandangan Alkitab terhadap perceraian dan
pernikahan kembali?
2. Dalam
GSPII Wilayah Timur sudah memiliki AD/ART. Namun, ada kemungkinan tidak semua
hamba Tuhan maupun majelis benar-benar memahaminya. Ada indikasi bahwa beberapa GSPII Wilayah
Timur telah melaksanakan praktek pernikahan kembali dan menyetujui untuk
menikahkan kembali sesuai dengan permintaan jemaat tersebut. Dari kenyataan itu, mungkin GSPII Wilayah
Timur kurang memahami AD/ART. Berdasarkan uraian di atas, bagaimana
pemahaman para Gembala sidang GSPII Wilayah Timur terhadap praktek perceraian
dan pernikahan kembali?
3. Melihat
indikasi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di GSPII dengan melakukan praktek
pernikahan kembali pasca perceraian dan dalam status suami atau istri sebelumnya
masih hidup, maka berdasarkan indikasi
di atas, apakah para Gembala dan majelis
sudah berkoordinasi dengan Sinode untuk menikahkan kembali orang yang sudah
bercerai yang pada kenyataannya pasangan suami-istri masih dalam keadaan hidup?
4. Ada
indikasi bahwa melihat kemungkinan pertumbuhan atau meningkatnya jemaat
dilingkungan GSPII Wilayah Timur. Para
Gembala sidang menyetujui atau secara sadar mengetahui bahwa pernikahan kembali
tidak diperbolehkan tetapi, tetap melakukan praktek pernikahan
kembali. Berdasarkan uraian di atas, apa
yang melatarbelakangi atau yang menjadi motivasi terjadinya praktek pernikahan
kembali di GSPII Wilayah Timur ini.
5. Terkait
dengan adanya praktek pernikahan kembali yang terjadi di GSPII Wilayah
Timur. Sebenarnya tantangan-tantangan
apa saja yang dihadapi oleh para Gembala sidang dalam menangani praktek
pernikahan kembali?
6. Ada
indikasi bahwa praktek pernikahan kembali terjadi karena merasa masih ada
ikatan (hubungan) keluarga, sehingga hal tersebut yang menjadi pertimbangan
Gembala sidang dan majelis. Berdasarkan
penjelasan di atas, apa yang menjadi motivasi Gembala sidang dan majelis?
7. Bagaimana
peranan seorang Gembala sidang dalam menangani praktek pernikahan kembali?
8. Secara
umum Gembala Sidang sudah mengetahui tentang AD/ART GSPII dan Firman Tuhan, bahwa
praktek perceraian dan pernikahan kembali tidak diizinkan, baik dalam aturan
AD/ART GSPII ataupun Firman Tuhan. Sehingga
Gembala Sidang ataupun majelis Gereja mengalami sebuah situasi yang dilematis
dalam konteks pastoral. Dalam menghadapi
masalah dilematis bagaimana permasalahan etis-teologis terhadap praktek
pernikahan kembali?
Pembatasan
Masalah Penulisan
Merujuk pada pernyataan
judul karya tulis ini yakni “Tinjauan Etis Teologis Terhadap Praktek Pernikahan
Kembali di Gereja Sidang Persekutuan Injili Indonesia (GSPII) dan Implikasinya Bagi Pelayanan Di GSPII
Wilayah Timur”, dan berkaitan dengan sejumlah masalah yang telah diidentifikasi
di atas, maka Penulis akan membatasi dalam tiga masalah, yakni nomor satu, dua,
empat dan delapan sebagai berikut:
1. Melihat adanya indikasi terjadinya praktek perceraian dan
pernikahan kembali di GSPII Wilayah Timur.
Maka yang menjadi pertanyaan, bagaimana pandangan Alkitab terhadap perceraian
dan pernikahan kembali?
2. Dalam
GSPII Wilayah Timur sudah memiliki AD/ART. Namun ada kemungkinan tidak semua
hamba Tuhan maupun majelis benar-benar memahaminya. Ada indikasi bahwa beberapa GSPII Wilayah
Timur telah melaksanakan praktek pernikahan kembali dan menyetujui untuk
menikahkan kembali sesuai dengan permintaan jemaat tersebut. Dari kenyataan itu, mungkin GSPII Wilayah
Timur kurang memahami AD/ART. Berdasarkan uraian di atas, bagaimana
pemahaman para Majelis atau Gembala sidang GSPII Wilayah Timur terhadap praktek
perceraian dan pernikahan kembali?
3. Ada
indikasi bahwa melihat kemungkinan pertumbuhan atau meningkatnya jemaat
dilingkungan GSPII Wilayah Timur. Para Gembala sidang menyetujui atau secara
sadar mengetahui bahwa pernikahan kembali tidak diperbolehkan tetapi,
tanpa sadar melakukan praktek pernikahan kembali. Berdasarkan uraian diatas, apa yang
melatarbelakangi atau yang menjadi motivasi terjadinya praktek pernikahan
kembali di GSPII Wilayah Timur ini.
4. Secara
umum Gembala Sidang sudah mengetahui tentang AD/ART GSPII dan Firman Tuhan,
bahwa praktek perceraian dan pernikahan kembali tidak diizinkan, baik dalam
aturan AD/ART GSPII ataupun Firman Tuhan.
sehingga Gembala Sidang ataupun majelis Gereja mengalami sebuah
dilematis dalam konteks pastoral. Dalam
menghadapi masalah dilematis bagaimana permasalahan etis-teologis terhadap
praktek pernikahan kembali.
Rumusan Masalah
Berdasarakan identifikasi
masalah dan batasan masalah tersebut di atas, maka Penulis menetapkan rumusan
masalah yang dinyatakan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1.
Bagaimana pandangan Alkitab
terhadap perceraian dan pernikahan kembali?
2. Bagaimana
pemahaman para Gembala sidang atau Majelis GSPII Wilayah Timur terhadap praktek
perceraian dan pernikahan kembali?
3. Apa
yang melatarbelakangi atau yang menjadi motivasi terjadinya praktek pernikahan
kembali di GSPII Wilayah Timur ini.
4. Bagaimana
permasalahan etis-teologis terhadap praktek pernikahan kembali.
Tujuan
Penelitian
Dengan
mengacu kepada judul penelitian dan merujuk pada masalah penelitian di atas,
maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk
menjelaskan bagaimana pandangan Alkitab terhadap
perceraian dan pernikahan kembali.
2. Untuk
menjelaskan bagaimana pemahaman para Gembala sidang atau Majelis GSPII Wilayah
Timur terhadap praktek perceraian dan pernikahan kembali.
3. Apa
yang melatarbelakangi atau yang menjadi motivasi terjadinya praktek pernikahan
kembali di GSPII Wilayah Timur ini.
4. Untuk
mengetahui bagaimana permasalahan etis-teologis terhadap praktek pernikahan
kembali.
Kepentingan
Penelitian
Hasil
penelitian mengenai “Tinjauan Etis Teologis Terhadap Praktek Pernikahan Kembali
di GSPII dan Implikasinya Bagi Pelayanan di GSPII Wilayah Timur”, ini
diharapkan akan membawa dampak bagi para Gembala sidang dan majelis, baik
kepentingan secara teoritis maupun kepentingan secara praktis seperti berikut
ini.
Kepentingan
Teoritis
Secara
teoritis, penulisan skripsi ini akan membawa kepentingan yang signifikan,
diantaranya:
1. Secara
teoritis memberikan pemikiran mengenai konsep yang benar dan alkitabiah dalam
konteks pengembangan pengetahuan serta wawasan para gembala sidang GSPII
Wilayah Timur.
2. Melalui
skripsi ini, terutama hamba-hamba Tuhan dapat mengerti dan memahami konsep
pernikahan kembali secara benar sehingga tidak terjadi perdebatan dalam pelayanan
serta menyadari bahwa praktek pernikahan kembali adalah sesuatu yang signifikan
dalam Gereja
3. Penelitian
ini memberikan kontribusi pengajaran Alkitab yang benar tentang praktek
pernikahan kembali serta berguna untuk kepentingan implementasi dalam konteks
pengembangan pengetahuan jemaat.
Kepentingan
Praktis
Sedangkan kepentingan praktis, sebagai
berikut:
1. Bagi
penulis, melalui penulisan skripsi ini penulis dapat menambah wawasan,
pengetahuan terkait dengan judul skripsi ini.
2. Bagi
para hamba Tuhan di GSPII Wilayah Timur, melalui penulisan skripsi ini dapat
membekali pelayanan serta memberikan gambaran betapa pentinganya tugas dan
tanggung jawab hamba Tuhan dalam mengambil keputusan mengenai sikap dan
tindakan yang seharusnya tidak dilakukan dalam melakukan praktek pernikahan
kembali serta mampu menjadi teladan bagi hamba Tuhan yang lainnya. Melalui skripsi ini dapat dijadikan bahan
kajian pembelajaran dan referensi bagi hamba Tuhan dalam menerapakan dan
memberikan pengertian secara benar bagi hamba Tuhan dalam mengadakan analisa
dan evaluasi mengenai praktek pernikahan kembali yang terjadi dilingkungan
GSPII Wilayah Timur.
3. Bagi
kepustakaan hasil penelitian ini akan memperkaya studi tentang gereja yang
mengadakan praktek pernikahan kembali.
Metodologi
Metodologi
merupakan segala keterangan yang dipakai
dalam melakukan penelitian untuk mengumpulkan data-data serta informasi yang
berkaitan dengan masalah praktek pernikahan kembali yang terjadi. Adapun bagian-bagian dari metodologi adalah
Metode penelitian atau pengumpulan data dan metode penulisan.
Metode
Penelitian
Dalam
penelitian skripsi ini, penulis menggunakan metode kualitatif. Usman mengatakan bahwa metode kualitatif
berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi tingkah laku manusia
dalam situasi tertentu (1996, hlm. 81).
Metode
Pengumpulan Data
Untuk melengkapi data dalam
mengungkapkan praktek pernikahan kembali yang terjadi khususnya di GSPII
Wilayah Timur, maka penulis melakukan pendekatan riset lapangan, berupa wawancara kepada para
gembala sidang atau Majelis di GSPII Wilayah Timur. Adapun tujuan wawancara kepada para gembala
sidang atau Majelis yaitu untuk mendapatkan data dan penjelasan mengenai adanya praktek pernikahan
kembali, dan hal-hal yang berkaitan dengan masalah tersebut.
Metode skripsi ini, juga
dilengkapi dengan riset kepustakaan dengan tujuan untuk mendukung dan
melengkapi beberapa data penulisan skripsi.
Riset kepustakaan juga bertujuan untuk mereferensi beberapa pandangan
yang berkaitan dengan praktek pernikahan kembali.
Metode
Penulisan
Dalam penelitiannya penulis
menggunakan metode penelitian deskriptif (Descriptive research). Di mana memberikan gambaran mengenai suatu
obyek (kasus, fakta-fakta, keadaan, peristiwa, dan sebagainya) secara
sistematis, detail dan objektif.
Muhamad nazir memberikan
pengertian tentang metode deskriptif: “Sebagai suatu metode dalam status
kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran atau
pun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang.”[18] Tujuannya yakni untuk memaparkan suatu
pemahaman yang aktual yang benar-benar terjadi dilingkungan GSPII Wilayah Timur
saat ini.
Definisi Istilah
Pada bagian ini, penulis
akan mendefinisikan beberapa kata penting yang ada pada judul skripsi ini. Tujuannya adalah untuk mengerti dan memahami
arti dari setiap kata dari skripsi ini.
Beberapa kalimat tersebut adalah:
etis, teologis, praktek, dan pernikahan kembali.
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) mengartikan kata etis
dengan dua arti. Pengertian pertama, “etis adalah yang berhubungan (sesuai)
dengan etika. Pengertian yang kedua, etis adalah sesuai dengan asas perilaku
yang disepakati secara umum”.[19] Dalam hal ini secara iman Kristen.
Teologis adalah sebuah kajian atau ilmu yang mempelajari segala sesuatu
yang berkaitan dengan keyakinan, sifat, keberadaan manusia selaku ciptaan
Tuhan.[20]
Kamus Besar Bahasa Indonesia
juga mengartikan kata praktek adalah
cara melaksanakan secara nyata apa yang disebut dengan teori, baik yang mudah
maupun yang sukar dalam menjalankan sebuah pekerjaan.[21]
Pengertian dari ungkapan pernikahan
kembali adalah pernikahan yang
sebelumnya pasangan suami-istri telah melakukan perceraian, atau sah bercerai
kemudian menikah kembali.[22]
Sistematika
Penulisan
Penulisan skripsi ini akan
disusun secara sistematika sebagai berikut:
Pada Bab pertama akan
dibahas pendahuluan yang berkaitan dengan latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah
penulisan, rumusan masalah, tujuan
penulisan, sgnifikansi penulisan, metodologi
penulisan, definisi istilah dan
sistematika penulisan.
Bab kedua Landasan teori:
penjelasan definisi pernikahan kembali, latar belakang terjadinya praktek
pernikahan kembali, serta pandangan para tokoh mengenai pernikahan kembali,
pandangan Alkitab mengenai perceraian, pernikahan kembali dan permasalahan
etis-teologis terhadap praktek pernikahan kembali.
Bab tiga Metodologi penelitian:
tempat dan waktu penelitian, teknik pengumpulan data, dokumentasi dan
wawancara.
Bab empat Deskripsi hasil penelitian dan pembahasan.
Bab lima merupakan Penutup: Kesimpulan,
implikasi dan saran.
[1] Ward, Charles
G. Buku
Pegangan Pelayanan (t.tp: Persekutuan Pembaca Alkitab, 1990), 189.
[2] Ibid, 189.
[3]Http://WWW.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/01/24/Iya2yg-angka-perceraian-pasangan-indonesia-naik
-drastis-70-persen (diakes pada 6 April 2015).
[5] John Stott, Isu-Isu Global (Jakarta: Yayasan OMF, 1996), 370.
[6] Tabloid Reformata Edisi 170
Desember 2013. Yayasan Pelayanan Media Antiokhia (YAPAMA).
[7] Alex Sobur, Butir-Butir Mutiara Rumah Tangga ( Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1985), 281.
[8] “No Marriage after Divorce” dalam
Remarriage after Divorce in Today’s
Crurch: 3 View (ed. Mark L. Strauss;
Grand Rapids: Zondervan, 2006) 21; lihat juga John Stott, Isu-isu Global: Menantang Kepemimpinan Kristiani (terj. G. M. A.
Nainggolan; Jakarta: OMF, 1993) 370.
[9]Gordon Lindsay, Pernikahan, Perceraian dan Pernikahan Ulang (Jakarta:
Yayasan pekabaran Injil “IMMANUEL” 1993), 101.
[10]Charles G. Ward, Buku
Pegangan Pelayanan (t.tp: Persekutuan Pembaca Alkitab, 1990) 192.
[11] Jusuf BS, Seminar dan Pameran Hidup Nikah (Surabaya:t.p 2001), 1.
[12]Julianto Simanjuntak &
Roswita Ndraha, Keterampilan Perkawinan (Jakarta:
Pelikan 2012),9.
[13]Jusuf BS, Seminar dan Pameran Hidup Nikah (Surabaya:t.p 2001), 1.
[14] Inisial T, Wawancara.
13 Februari 2015. Jam 18.00.
[15] Inisial A, Wawancara. 14 Februari 2015. Jam 20.00.
[17] Inisial T, Wawancara.
13 Februari 2015. Jam 18.00.
[18] Muhamad Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia,
1988), 63.
[19] Kamus Besar Bahasa Indonesia. (
Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1993),
237.
[20]Eka Darmaputera, Memahami
Perceraian dengan Duka yang Dalam; Http://artikel.sabda.org/memahami_perceraian_dengan_duka_yang_dalam;
diakses tanggal 19 Mei 2015.
[21] Ibid. 698.
[22]Jarot, Perceraian (Jakarta: P.T Happy Holy Kids. t.t), 60-84.
0 komentar:
Posting Komentar