Maret 14, 2020
0
www.idntimes.com

CONTOH PROPOSAL
Oleh Dessy Kristina
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
            Bagi beberapa kelompok, perceraian merupakan hal yang tidak tabu dilakukan terhadap suatu pernikahan.  Secara khusus bagi orang Kristen pun terjadi pandangan demikian.  Ada anggapan bahwa jika terjadi perceraian maka bukan suatu hal yang tidak mungkin bagi manusia untuk menikah kembali, manusia merasa bahwa itu bukanlah dosa yang harus ditutup-tutupi jaman sekarang ini.[1]
            Menurut pandangan Charles G. Ward dalam bukunya mengatakan:
“Perceraian dapat dianggap terjadi ketika pasangan suami istri memutuskan untuk tidak memenuhi ikatan pernikahan mereka…dan juga merupakan suatu pengalaman yang menghancurkan, dan luka yang ada di dalam hati memerlukan waktu yang cukup lama untuk menyembuhkannya”.[2]

            Tingkat perceraian di Indonesia terus menerus meningkat. “Angka perceraian di Indonesia setiap tahunnya bertambah tidak kurang dari 10%; pada tahun 2009 terjadi 216.286 kasus perceraian, dan di tahun 2010 terjadi peningkatan menjadi 285.184 perkara”.[3]  Sementara data jumlah perceraian tahun 2011 terus-menerus meningkat di seluruh Indonesia.  Penyebab pisahnya pasangan suami dan istri tersebut adalah ketidakharmonisan sebanyak 91.841 perkara, tidak ada tanggungjawab 78.407 perkara, dan masalah ekonomi 67.891 perkara.  Sedangkan tahun sebelumnya yaitu 2010, tingkat perceraian nasional masih diangka 216.286 perkara. Angka faktor penyebabnya terdiri atas ketidakharmonisan 72.274 perkara, tidak ada tanggungjawab 61.128 perkara, dan faktor ekonomi 43.309 perkara.[4]  Meningkatnya angka perceraian memperlihatkan bahwa kondisi keluarga-keluarga dari masyarakat Indonesia semakin mengalami penurunan dalam hal kualitas sehingga berdampak pada rentannya usia pernikahan keluarga dari masyarakat.
            Secara khusus di kalangan Kristen, John Stott mencatat dalam bukunya bahwa, pada tahun 1980 di Inggris berjumlah 409.000 perkawinan, 35% dari angka tersebut adalah perkawinan kedua.  Pada tahun 2006 yang lalu  di Indonesia  mencapai 159.000 angka perceraian.[5] Menurut Badan Urusan Peradilan Agama dan Mahkama Agung (MA) peningkatannya mencapai 70 persen, dengan jumlah kasus 285.184 dari tahun 2005 hingga 2010.[6] 
            Perceraian bukan hanya dialami oleh orang-orang secara umum tetapi juga secara khusus perceraian dialami oleh orang-orang  Kristen.  Di mana beberapa di antara orang Kristen tidak memiliki kebahagiaan dalam perkawinan.[7] 
“Di Negara-negara Barat pun kondisi yang sama terjadi, jumlah perceraian sangatlah tinggi sebagaimana dijelaskan oleh Gordon J. Wenham bahwa separuh dari pernikahan diakhiri dengan kasus perceraian”.[8]
Mendiang Pdt. John Rice,  didalam bukunya yang berjudul KELUARGA, KENCAN, PERNIKAHAN, DAN ANAK-ANAK (The Home,  Courtship, Marriage and Children) mengemukakan perceraian adalah noda yang berbintikkan keaiban.  Keaiban (atau: keadaan yang memalukan) itu adalah bintik hitam yang memang perlu dipertautkan dengan perceraian.[9]

Pada dasarnya Allah tidak pernah menghendaki sebuah percerain terjadi di tengah-tengah kehidupan orang Kristen, karena perceraian telah menyimpang dari jalan dan maksud Allah di mana adanya sebuah keputusan-keputusan yang kedua-duanya sama-sama bersalah didukung oleh adanya kesombongan dan kepentingan diri sendiri yang kemudian menimbulkan terjadinya perceraian dalam rumah tangga. Artinya “Perceraian merupakan putusnya ikatan pernikahan secara hukum, yang merupakan penyimpangan dari maksud Allah, akibat dosa pada salah satu atau kedua belah pihak pasangan suami dan istri”.[10] 
Merujuk kepada beberapa data di atas, banyaknya kasus perceraian di keluarga Kristen menandakan adanya suatu gejala:
1.    Kerusakan kehidupan pernikahan yang makin meningkat.
2.    Tidak mengerti isi Alkitab tentang Pernikahan.
3.    Tidak punya kuasa Allah dalam menghadapi masalah kehidupan pernikahannya.
4.    Tidak memelihara kehidupan pernikahannya dengan baik.[11]
Dari problema yang terjadi di atas, seharusnya perceraian tidak terjadi apabila orang Kristen memahami bahwa pernikahan merupakan mukjizat Allah yang terdiri atas anugerah, pemberian dan penghiburan Ilahi.  Kehadiran Tuhan dalam pernikahan dan keluarga membuat kehidupan di dalamnya menjadi bermakna.  Maka dalam hal ini, di dalam sebuah pernikahan perlu adanya persekutuan iman dan kehidupan doa yang baik (spiritual-intimacy).  Sebab ada banyak hal yang penting bagi anggota keluarga, yaitu iman, kasih dan pengharapan menjadi penopang pernikahan yang kuat.[12]
Allah menghendaki kehidupan Kristen dalam rumah tangga berpusat kepada Allah, dan menempatkan Kristus di tengah-tengah keluarga berdasarkan firman Allah yang dapat memelihara hidup sehingga tidak terjadi adanya kemungkinan-kemungkinan bagi orang-orang Kristen untuk mengambil sebuah kuputusan untuk bercerai.[13]
Tuhan tidak pernah menghendaki manusia untuk bercerai meskipun manusia mengalami persoalan di dalam sebuah rumah tangganya.  Dalam Roma 7:2-3, Rasul Paulus menekankan yaitu:
Apakah kamu tidak tahu, saudara-saudara, sebab aku berbicara kepada mereka yang mengetahui hukum berkuasa atas seseorang selama orang itu hidup?  Sebab seorang isteri terikat oleh hukum kepada suaminya selama suaminya itu hidup.  Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang mengikatnya kepada suaminya itu.

            Allah menghendaki agar orang-orang yang percaya kepada-Nya tidak melakukan perceraian kecuali perceraian itu terjadi apabila hanya dipisahkan oleh kematian.  Allah menentang perceraian.  Seperti yang ditegaskan dalam Mal. 2:16a  bahwa “Allah sangat membenci perceraian”.
            Masalah  perceraian dan pernikahan kembali sering diperdebatkan di kalangan orang-orang Kristen.  Di mana  ada dua pertanyaan penting yang menjadi  dasar terjadinya sebuah perdebatan, yakni: pertama bila pernah, kapankah perceraian diizinkan di mata Allah, dan kedua, bila pernah, kapan pernikahan kembali diizinkan di mata Allah.
Allah membenci perceraian bahkan Allah tidak menginginkan adanya perceraian.  Perceraian bukan kehendak Allah.  Jadi jika seseorang menikah kembali tetapi pasangan hidupnya ternyata masih hidup ia sudah dianggap telah berzinah.
Demikian juga beberapa kasus perceraian dan pernikahan kembali yang terjadi dibeberapa GSPII, di mana beberapa Gereja melaksanakan praktek pernikahan kembali setelah terjadi perceraian sebelumnya, disaat pasangan masing-masing masih hidup.  Berdasarkan data hasil wawancara yang diperoleh disalah satu GSPII di Wilayah Timur ini, dengan mengajukan sebuah pertanyaan: Apakah pernah terjadi pernikahan kembali dan bagaimana seorang Gembala sidang menghadapi sebuah situasi yang dilematis?
Dalam wawancara pertama, seorang Gembala sidang berinisial T   mengatakan bahwa praktek pernikahan kembali pernah dilaksanakan di gereja tersebut pada 1999 terhadap satu jemaat, tetapi bukan dari jemaat tetap, melainkan jemaat pindahan, jadi sifatnya meneguhkan karena keinginan mereka bukan keinginan Gembala tetapi pada akhirnya kedua pasangan tersebut bercerai kembali.  Menurut Gembala sidang, dalam menghadapi sebuah situasi yang dilematis tersebut adalah dikarenakan usia pernikahan pasangan suami dan isteri yang bercerai tersebut masih terbilang muda dan di satu sisi masih usia produktif, dan jika membiarkan kondisi tersebut maka akan mudah jatuh ke dalam dosa.  Sehingga dalam menghadapi sebuah situasi yang dilematis tersebut, mungkin menikah kembali akan menolong untuk tidak jatuh ke dalam berbagai dosa.[14]  Kemudian wawancara kedua, seorang Gembala sidang berinisial A mengatakan bahwa praktek pernikahan kembali belum pernah terjadi di gereja tersebut.[15]  Jadi berdasarkan data yang diperoleh, pada kenyataannya praktek pernikahan kembali memang pada dasarnya terjadi di kalangan beberapa GSPII Wilayah Timur ini.
 Menurut  anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) GSPII Pasal 15 nomor lima bahwa “Bagi Janda atau Duda karena ditinggal mati pasangannya, dapat memperoleh pelayanan pemberkatan Nikah Kudus Gereja”.[16]  Pada kenyataannya, di beberapa GSPII Wilayah Timur masih terjadi perceraian dan praktek pernikahan kembali.  Sedangkan pada AD/ART GSPII hal tersebut tidak boleh dilakukan di dalam lingkungan GSPII.
Praktek pernikahan kembali ini, ada beberapa kasus yang nampak terjadi dalam lingkungan GSPII secara khusus di Wilayah Timur.  Ada kemungkinan terjadinya praktek pernikahan kembali karena tidak adanya koordinasi antara gereja lokal dengan Sinode.  Sehingga Gereja terpaksa untuk mengambil keputusan tersebut tanpa persetujuan Sinode.[17]
Menurut pengamatan Penulis, Gereja yang sudah melakukan praktek pernikahan kembali telah melakukan pelanggaran AD/ART dan melanggar Firman Allah.  Tiap Gereja lokal GSPII sudah memiliki AD/ART dan sudah mengikuti pembinaan masalah AD/ART GSPII,  tetapi ada kemungkinan bahwa mereka belum benar-benar memahami AD/ART GSPII pasal 15 nomor 5.  Sehingga muncul sebuah pertanyaan: Sejauh mana Gembala sidang dan majelis GSPII Wilayah Timur memahami AD/ART dan ajaran Alkitab, secara khusus tentang perceraian dan pernikahan kembali; Apakah Gembala Sidang harus terpaksa melakukan praktek pernikahan kembali karena alasan takut terjadi perpecahan, kehilangan jemaat dan dimana pertanggung jawaban Alkitabiah secara benar.  Atau kemungkinan ada faktor-faktor lain yang melatarbelakangi dan menjadi motivasi dari pelaksanaan pernikahan kembali tersebut.  Oleh karena itu melihat beberapa kasus-kasus yang terjadi di lingkungan GSPII, berkenaan dengan dilakukannya praktek pernikahan kembali di kalangan orang-orang percaya, seperti yang sudah dipaparkan diatas.  Maka penulis merasa tertarik untuk mengangkat sebuah judul: “Tinjauan Etis Teologis Terhadap Praktek Pernikahan Kembali Di Gereja Sidang Persekutuan Injili Indonesia (GSPII) Dan Implikasinya Bagi Pelayanan Di Gereja Sidang Persekutuan Injili Indonesia (GSPII) Wilayah Timur”.  Agar praktek pernikahan kembali dalam kehidupan orang-orang percaya dapat dipahami secara benar berdasarkan firman Tuhan.

Identifikasi Masalah
Mengacu pada topik penelitian ini, serta merujuk kepada latar belakang masalah sebagaimana dipaparkan di atas, maka peneliti mengidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:
1.      Melihat adanya indikasi terjadinya praktek perceraian dan pernikahan kembali di GSPII Wilayah Timur, maka yang menjadi pertanyaan, bagaimana pandangan Alkitab terhadap perceraian dan pernikahan kembali?
2.      Dalam GSPII Wilayah Timur sudah memiliki AD/ART. Namun, ada kemungkinan tidak semua hamba Tuhan maupun majelis benar-benar memahaminya.  Ada indikasi bahwa beberapa GSPII Wilayah Timur telah melaksanakan praktek pernikahan kembali dan menyetujui untuk menikahkan kembali sesuai dengan permintaan jemaat tersebut.  Dari kenyataan itu, mungkin GSPII Wilayah Timur kurang memahami AD/ART.  Berdasarkan uraian di atas, bagaimana pemahaman para Gembala sidang GSPII Wilayah Timur terhadap praktek perceraian dan pernikahan kembali?
3.      Melihat indikasi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di GSPII dengan melakukan praktek pernikahan kembali pasca perceraian dan dalam status suami atau istri sebelumnya masih hidup, maka  berdasarkan indikasi di atas, apakah para Gembala  dan majelis sudah berkoordinasi dengan Sinode untuk menikahkan kembali orang yang sudah bercerai yang pada kenyataannya pasangan suami-istri masih dalam keadaan hidup?
4.      Ada indikasi bahwa melihat kemungkinan pertumbuhan atau meningkatnya jemaat dilingkungan GSPII Wilayah Timur.  Para Gembala sidang menyetujui atau secara sadar mengetahui bahwa pernikahan kembali tidak diperbolehkan                                   tetapi, tetap melakukan praktek pernikahan kembali.  Berdasarkan uraian di atas, apa yang melatarbelakangi atau yang menjadi motivasi terjadinya praktek pernikahan kembali di GSPII Wilayah Timur ini.
5.      Terkait dengan adanya praktek pernikahan kembali yang terjadi di GSPII Wilayah Timur.  Sebenarnya tantangan-tantangan apa saja yang dihadapi oleh para Gembala sidang dalam menangani praktek pernikahan kembali?
6.      Ada indikasi bahwa praktek pernikahan kembali terjadi karena merasa masih ada ikatan (hubungan) keluarga, sehingga hal tersebut yang menjadi pertimbangan Gembala sidang dan majelis.  Berdasarkan penjelasan di atas, apa yang menjadi motivasi Gembala sidang dan majelis?
7.      Bagaimana peranan seorang Gembala sidang dalam menangani praktek pernikahan kembali?
8.      Secara umum Gembala Sidang sudah mengetahui tentang AD/ART GSPII dan Firman Tuhan, bahwa praktek perceraian dan pernikahan kembali tidak diizinkan, baik dalam aturan AD/ART GSPII ataupun Firman Tuhan.  Sehingga Gembala Sidang ataupun majelis Gereja mengalami sebuah situasi yang dilematis dalam konteks pastoral.  Dalam menghadapi masalah dilematis bagaimana permasalahan etis-teologis terhadap praktek pernikahan kembali?


Pembatasan Masalah Penulisan
Merujuk pada pernyataan judul karya tulis ini yakni “Tinjauan Etis Teologis Terhadap Praktek Pernikahan Kembali di Gereja Sidang Persekutuan Injili Indonesia (GSPII)  dan Implikasinya Bagi Pelayanan Di GSPII Wilayah Timur”, dan berkaitan dengan sejumlah masalah yang telah diidentifikasi di atas, maka Penulis akan membatasi dalam tiga masalah, yakni nomor satu, dua, empat dan delapan sebagai berikut:
1.    Melihat adanya indikasi terjadinya praktek perceraian dan pernikahan kembali di GSPII Wilayah Timur.  Maka yang menjadi pertanyaan, bagaimana pandangan Alkitab terhadap perceraian dan pernikahan kembali?
2.    Dalam GSPII Wilayah Timur sudah memiliki AD/ART. Namun ada kemungkinan tidak semua hamba Tuhan maupun majelis benar-benar memahaminya.  Ada indikasi bahwa beberapa GSPII Wilayah Timur telah melaksanakan praktek pernikahan kembali dan menyetujui untuk menikahkan kembali sesuai dengan permintaan jemaat tersebut.  Dari kenyataan itu, mungkin GSPII Wilayah Timur kurang memahami AD/ART.  Berdasarkan uraian di atas, bagaimana pemahaman para Majelis atau Gembala sidang GSPII Wilayah Timur terhadap praktek perceraian dan pernikahan kembali?
3.    Ada indikasi bahwa melihat kemungkinan pertumbuhan atau meningkatnya jemaat dilingkungan GSPII Wilayah Timur. Para Gembala sidang menyetujui atau secara sadar mengetahui bahwa pernikahan kembali tidak diperbolehkan                                   tetapi, tanpa sadar melakukan praktek pernikahan kembali.  Berdasarkan uraian diatas, apa yang melatarbelakangi atau yang menjadi motivasi terjadinya praktek pernikahan kembali di GSPII Wilayah Timur ini.
4.    Secara umum Gembala Sidang sudah mengetahui tentang AD/ART GSPII dan Firman Tuhan, bahwa praktek perceraian dan pernikahan kembali tidak diizinkan, baik dalam aturan AD/ART GSPII ataupun Firman Tuhan.  sehingga Gembala Sidang ataupun majelis Gereja mengalami sebuah dilematis dalam konteks pastoral.  Dalam menghadapi masalah dilematis bagaimana permasalahan etis-teologis terhadap praktek pernikahan kembali.

Rumusan Masalah
Berdasarakan identifikasi masalah dan batasan masalah tersebut di atas, maka Penulis menetapkan rumusan masalah yang dinyatakan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1.    Bagaimana pandangan Alkitab terhadap perceraian dan pernikahan kembali?
2.    Bagaimana pemahaman para Gembala sidang atau Majelis GSPII Wilayah Timur terhadap praktek perceraian dan pernikahan kembali?
3.    Apa yang melatarbelakangi atau yang menjadi motivasi terjadinya praktek pernikahan kembali di GSPII Wilayah Timur ini.
4.    Bagaimana permasalahan etis-teologis terhadap praktek pernikahan kembali.




Tujuan Penelitian
Dengan mengacu kepada judul penelitian dan merujuk pada masalah penelitian di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.    Untuk menjelaskan bagaimana pandangan Alkitab terhadap perceraian dan pernikahan kembali. 
2.    Untuk menjelaskan bagaimana pemahaman para Gembala sidang atau Majelis GSPII Wilayah Timur terhadap praktek perceraian dan pernikahan kembali.
3.    Apa yang melatarbelakangi atau yang menjadi motivasi terjadinya praktek pernikahan kembali di GSPII Wilayah Timur ini.
4.    Untuk mengetahui bagaimana permasalahan etis-teologis terhadap praktek pernikahan kembali.

Kepentingan Penelitian
            Hasil penelitian mengenai “Tinjauan Etis Teologis Terhadap Praktek Pernikahan Kembali di GSPII dan Implikasinya Bagi Pelayanan di GSPII Wilayah Timur”, ini diharapkan akan membawa dampak bagi para Gembala sidang dan majelis, baik kepentingan secara teoritis maupun kepentingan secara praktis seperti berikut ini.

Kepentingan Teoritis
Secara teoritis, penulisan skripsi ini akan membawa kepentingan yang signifikan, diantaranya:
1.    Secara teoritis memberikan pemikiran mengenai konsep yang benar dan alkitabiah dalam konteks pengembangan pengetahuan serta wawasan para gembala sidang GSPII Wilayah Timur.
2.    Melalui skripsi ini, terutama hamba-hamba Tuhan dapat mengerti dan memahami konsep pernikahan kembali secara benar sehingga tidak terjadi perdebatan dalam pelayanan serta menyadari bahwa praktek pernikahan kembali adalah sesuatu yang signifikan dalam Gereja
3.    Penelitian ini memberikan kontribusi pengajaran Alkitab yang benar tentang praktek pernikahan kembali serta berguna untuk kepentingan implementasi dalam konteks pengembangan pengetahuan jemaat.

Kepentingan Praktis
Sedangkan kepentingan praktis, sebagai berikut:
1.    Bagi penulis, melalui penulisan skripsi ini penulis dapat menambah wawasan, pengetahuan terkait dengan judul skripsi ini.
2.    Bagi para hamba Tuhan di GSPII Wilayah Timur, melalui penulisan skripsi ini dapat membekali pelayanan serta memberikan gambaran betapa pentinganya tugas dan tanggung jawab hamba Tuhan dalam mengambil keputusan mengenai sikap dan tindakan yang seharusnya tidak dilakukan dalam melakukan praktek pernikahan kembali serta mampu menjadi teladan bagi hamba Tuhan yang lainnya.  Melalui skripsi ini dapat dijadikan bahan kajian pembelajaran dan referensi bagi hamba Tuhan dalam menerapakan dan memberikan pengertian secara benar bagi hamba Tuhan dalam mengadakan analisa dan evaluasi mengenai praktek pernikahan kembali yang terjadi dilingkungan GSPII Wilayah Timur.
3.    Bagi kepustakaan hasil penelitian ini akan memperkaya studi tentang gereja yang mengadakan praktek pernikahan kembali.

Metodologi
Metodologi merupakan  segala keterangan yang dipakai dalam melakukan penelitian untuk mengumpulkan data-data serta informasi yang berkaitan dengan masalah praktek pernikahan kembali yang terjadi.  Adapun bagian-bagian dari metodologi adalah Metode penelitian atau pengumpulan data dan metode penulisan.

Metode Penelitian
Dalam penelitian skripsi ini, penulis menggunakan metode kualitatif.  Usman mengatakan bahwa metode kualitatif berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi tingkah laku manusia dalam situasi tertentu (1996, hlm. 81).

Metode Pengumpulan Data
Untuk melengkapi data dalam mengungkapkan praktek pernikahan kembali yang terjadi khususnya di GSPII Wilayah Timur, maka penulis melakukan pendekatan  riset lapangan, berupa wawancara kepada para gembala sidang atau Majelis di GSPII Wilayah Timur.  Adapun tujuan wawancara kepada para gembala sidang atau Majelis yaitu untuk mendapatkan data dan  penjelasan mengenai adanya praktek pernikahan kembali, dan hal-hal yang berkaitan dengan masalah tersebut.
Metode skripsi ini, juga dilengkapi dengan riset kepustakaan dengan tujuan untuk mendukung dan melengkapi beberapa data penulisan skripsi.  Riset kepustakaan juga bertujuan untuk mereferensi beberapa pandangan yang berkaitan dengan praktek pernikahan kembali.

Metode Penulisan
Dalam penelitiannya penulis menggunakan metode penelitian deskriptif (Descriptive research).  Di mana memberikan gambaran mengenai suatu obyek (kasus, fakta-fakta, keadaan, peristiwa, dan sebagainya) secara sistematis, detail dan objektif.  
Muhamad nazir memberikan pengertian tentang metode deskriptif: “Sebagai suatu metode dalam status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran atau pun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang.”[18]  Tujuannya yakni untuk memaparkan suatu pemahaman yang aktual yang benar-benar terjadi dilingkungan GSPII Wilayah Timur saat ini.

Definisi Istilah
Pada bagian ini, penulis akan mendefinisikan beberapa kata penting yang ada pada judul skripsi ini.  Tujuannya adalah untuk mengerti dan memahami arti dari setiap kata dari skripsi ini.  Beberapa kalimat tersebut adalah:  etis,  teologis, praktek,  dan pernikahan kembali.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan kata etis dengan dua arti.  Pengertian pertama, “etis adalah yang berhubungan (sesuai) dengan etika.  Pengertian yang kedua, etis adalah sesuai dengan asas perilaku yang disepakati secara umum”.[19]  Dalam hal ini secara iman Kristen.
Teologis adalah sebuah kajian atau ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan, sifat, keberadaan manusia selaku ciptaan Tuhan.[20]
Kamus Besar Bahasa Indonesia juga mengartikan kata praktek adalah cara melaksanakan secara nyata apa yang disebut dengan teori, baik yang mudah maupun yang sukar dalam menjalankan sebuah pekerjaan.[21]
Pengertian dari ungkapan pernikahan kembali adalah pernikahan yang sebelumnya pasangan suami-istri telah melakukan perceraian, atau sah bercerai kemudian menikah kembali.[22]

Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini akan disusun secara sistematika sebagai berikut:
Pada Bab pertama akan dibahas pendahuluan yang berkaitan dengan latar belakang masalah,  identifikasi masalah, pembatasan masalah penulisan, rumusan masalah,  tujuan penulisan, sgnifikansi penulisan,  metodologi penulisan,  definisi istilah dan sistematika penulisan.
Bab kedua Landasan teori: penjelasan definisi pernikahan kembali, latar belakang terjadinya praktek pernikahan kembali, serta pandangan para tokoh mengenai pernikahan kembali, pandangan Alkitab mengenai perceraian, pernikahan kembali dan permasalahan etis-teologis terhadap praktek pernikahan kembali.
Bab tiga Metodologi penelitian: tempat dan waktu penelitian, teknik pengumpulan data, dokumentasi dan wawancara.
Bab empat Deskripsi hasil penelitian dan pembahasan.
Bab lima merupakan Penutup: Kesimpulan, implikasi dan saran.




[1] Ward, Charles G.  Buku Pegangan Pelayanan (t.tp: Persekutuan Pembaca Alkitab, 1990), 189.
[2] Ibid, 189.

[3]Http://WWW.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/01/24/Iya2yg-angka-perceraian-pasangan-indonesia-naik -drastis-70-persen (diakes pada 6 April 2015).
[5] John Stott, Isu-Isu Global (Jakarta: Yayasan OMF, 1996), 370.
[6] Tabloid Reformata Edisi 170 Desember 2013. Yayasan Pelayanan Media Antiokhia (YAPAMA).
[7] Alex Sobur, Butir-Butir Mutiara Rumah Tangga ( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985), 281.
[8] “No Marriage after Divorce” dalam Remarriage after Divorce in Today’s Crurch: 3 View (ed.  Mark L. Strauss; Grand Rapids: Zondervan, 2006) 21; lihat juga John Stott, Isu-isu Global: Menantang Kepemimpinan Kristiani (terj. G. M. A. Nainggolan; Jakarta: OMF, 1993) 370.
[9]Gordon Lindsay, Pernikahan, Perceraian dan Pernikahan Ulang (Jakarta: Yayasan pekabaran Injil “IMMANUEL” 1993), 101.
[10]Charles G.  Ward, Buku Pegangan Pelayanan (t.tp: Persekutuan Pembaca Alkitab, 1990) 192.
[11] Jusuf BS, Seminar dan Pameran Hidup Nikah (Surabaya:t.p 2001), 1.
[12]Julianto Simanjuntak & Roswita Ndraha, Keterampilan Perkawinan (Jakarta: Pelikan 2012),9.
[13]Jusuf BS, Seminar dan Pameran Hidup Nikah (Surabaya:t.p 2001), 1.
[14] Inisial T,  Wawancara. 13 Februari 2015. Jam 18.00.
[15] Inisial A, Wawancara.  14 Februari  2015. Jam 20.00.
[16] Anggaran Dasar & Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), (t.p: GSPII 2014), 31.
[17] Inisial T,  Wawancara. 13 Februari 2015. Jam 18.00.
[18] Muhamad Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia, 1988), 63.
[19] Kamus Besar Bahasa Indonesia. ( Jakarta: BPK Gunung Mulia.  1993), 237.
[20]Eka Darmaputera, Memahami Perceraian dengan Duka yang Dalam; Http://artikel.sabda.org/memahami_perceraian_dengan_duka_yang_dalam; diakses tanggal 19 Mei 2015.
[21] Ibid. 698.
[22]Jarot, Perceraian (Jakarta: P.T Happy Holy Kids. t.t), 60-84.

0 komentar: