Maret 14, 2020
0
www.idntimes.com

CONTOH PROPOSAL
Oleh Serlyanti

BAB  I
PENDAHULUAN

            Dalam bab ini akan dijelaskan secara sistematis latar belakang, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, singnifikan penulisan, kepentingasn teoritis, kepentingan praktis, metodologi, metodologi penelitian, metodologi pengumpulan data, metode penulisan, definisi istilah, dan sistematika penulisan. 

Latar Belakang Masalah
            Gereja terdiri dari umat Allah, yang ditebus oleh Tuhan Yesus Kristus dengan darah-Nya sendiri.  Di dalam gereja itu juga umat Allah bersekutu untuk mendengar Firman Allah yang menjadi penuntun dalam kehidupannya sehari-hari.  Sebagai umat Allah manusia tidak terlepas dari persoalan hidupnya, karena ternyata umat Allah juga membutuhkan bimbingan pribadi untuk bertumbuh dan menyelesaikan masalah atau hambatan-hambatan dalam hidup pribadinya, sehingga membutuhkan  peran pastoral.
Istilah Pastoral, pastoral berasal dari kata  pastor dalam bahasa latin atau bahasa yunani disebut  “poimen” yang artinya gembala”. Secara tradisional dalam kehidupan gerejawai hal ini merupakan tugas pendeta yang harus menjadi gembala bagi domba-dombanya.  Pengistilahan ini dihubungkan dengan diri Yesus Kristus dan karya-Nya sebagai pastor sejati atau gembala yang baik (Yoh 10).  Ungkapan dari bacaan ini mengacu pada pelayanan Yesus Kristus yang tanpa pamrih, bersedia memberikan pertolongan dan pengasuhan terhadap pengikut-Nya bahkan rela mengorbankan nyawa-Nya.[1]

”Istilah pastor dalam konotasi praktisnya sebenarnya adalah merawat atau memelihara. Sikap pastoral diharapkan dapat mewarnai semua sendi pelayanan setiap orang yang dirawat dan diasuh oleh Allah secara sungguh-sungguh”.[2] Jadi Pastoral artinya pelayanan gembala yang memberikan nasihat,  penghiburan dan penguatan bagi warga gerejanya.  Pelayanan pastoral mempunyai sifat pertemuan yaitu: antara gembala dan anggota jemaat yang membutuhkan bantuan pelayanan pastoral. ”Sebenarnya pastoral adalah yang memimpin dan memberi isi kepada pertemuan mereka, istilah ini dihubungkan dengan diri Yesus Kristus dan karyaNya sebagai pastor sejati yang baik (Yoh. 10)”.[3]
Peran Pastoral sangat penting dalam kehidupan sehari-hari terutama bagi jemaat.  Salah satu contoh, konflik perselisihan yang terjadi di salah satu Gereja Sidang Persekutuan Injili Indonesia (GSPII) di Jawa Timur, terjadi konflik dua anggota jemaat akibat dari sebuah peristiwa kesalahpahaman kecil.  Salah satu anggota jemaat “mengupload” sesuatu yang tidak berkenan di hati jemaat yang bersangkutan, akibatnya terjadi perselisihan yang sangat rumit bahkan sampai melibatkan gembala dari gereja tersebut.  Pada akhirnya masalah ini tidak dapat diselesaikan dengan tuntas karena kedua pihak tidak dapat dipertemukan.[4]  Menurut data  yang didapatkan penulis dari beberapa pendeta  di GSPII Wilayah Timur, konflik antara jemaat yang sering terjadi  adalah:  kesalahpahaman antara suami dan istri baik itu karena perasaan yang tidak enak, anggapan yang salah sehingga menimbulkan konflik, kesalahpahaman antara jemaat satu dan jemaat yang lain, informasi yang berbeda antara satu dan yang lain sehingga menimbulkan konflik antara jemaat, relasi yang tidak harmonis, serta masalah pribadi yang dibawa di dalam ranah gereja sehingga bisa mempengaruhi pelayanan, kurangnya kordinasi pelayaan sehingga memicu terjadinya konflik, dan  rasa cemburu  yang timbul dalam hati antara jemaat.[5]
Beberapa konflik yang proses penyelesaiannya membutuhkan waktu yang lama yaitu rasa kecewa, sikap yang kurang baik dalam pelayanan karena pengaruh budaya dan latar belakang yang berbeda.  Beberapa konflik yang tidak dapat diselesaikan sekalipun sudah ada bimbingan dari pendeta yaitu kesalahpahaman, rasa cemburu antara suami dan istri yang berkelebihan sehingga menimbul konflik dan sampai akhirnya bercerai,  Kebiasaan-kbiasaan jemaat yang sukar dirubah seperti kebiasaan berhutang.  Jika masalah-masalah diatas tetap tidak terselesaikan, hal  ini akan menimbulkan dampak yang cukup serius bagi keutuhan jemaat. Bahkan bisa mengakibatkan perpecahan dalam gereja.  Dari data yang diperoleh  penulis melalui wawancara dengan  beberapa pendeta GSPII dihasilkan:


No
Wawancara pendeta
Jam
Tanggal/Bulan/Tahun
Tahun
peristiwa
Konflik yang terjadi
1
Pdt. Sutarno. M.div[6]
13.30
30/
Maret/
2015
1999


2000/
2014

-            KDRT sehingga mengakibatkan perceraian
-          Konflik antara jemaat sudah pernah terjadi
2
Pdt. Eko Junianto. STh[7]
16.00
31/
Maret/
2015
2009-2014
-          Konflik salah paham antara jemaat
-          Informasi yang berbeda antara satu dngan yang lain sehingga menimbulkan konflik
-          Masalah pribadi yang dibawa dalam ranah gereja dan
-          Konflik terjadi  lebih dari lima di setiap tahunnya
3
Pdt. Diyan Susanto. STh[8]
17.30
18/
April/ 2015
2009




2013

2014


-          antara jemaat,
-          salah paham antara jemaat
-          konflik suami dan istri
-          antara pengurus gereja dan jemaat
-          antara pelayan Tuhan
-          antara majelis
-         antara gembala dan majelis
-          konflik pribadi
antara suami dan istri

            Dalam hal ini, peran pastoral pendeta sangatlah penting dalam menyelesaikan konflik yang ada di dalam gereja tersebut karena selalu ada potensi konflik dalam jemaat yang harus diantisipasi diantaranya rasa ketidak-sukaan antara jemaat yang satu dengan yang lain, perbedaan kelas sosial yang terlalu mencolok, perbedaan latar belakang budaya, karakter jemaat yang berbeda-beda, ketidak dewasaan rohani jemaat dan faktor-faktor lainnya.
Menyadari akan hal itu gereja memerlukan pemelihara jiwa yaitu para pelayan rohani  yakni pendeta. Di bawah terang Firman Tuhan pendeta menolong, memberi bimbingan untuk menemukan sendi jawaban atas persoalan hidup jemaat.[9]  Seorang pendeta tidak akan membiarkan domba-dombanya tercerai-berai antara domba yang satu dengan domba yang lain, melainkan pendeta merangkul domba-dombanya dan mengasihinya. “Salah satu sifat yang terpenting  yang diberikan Allah kepada gembala sidang, ialah kesanggupan untuk mengasihi semua orang”.[10]  Dalam arti pendeta harus memiliki ketulusan hati dan kasih yang tulus  dalam menjalankan tugasnya sebagai pendeta.  Pendeta  harus memiliki hubungan yang baik yang saling mengenal dengan dombanya.  Domba mengenal gembalanya dan gembala mengasihi setiap dombanya.
Inilah pentingnya peran pastoral pendeta sebagai bentuk jalan keluar dalam penyelasaian konflik yang ada dalam gereja. “Pada umumnya para ahli berpendapat bahwa pelayanan pastoral tidak lain dari pemberian nasehat”[11].  Dalam bagian ini peran pastoral pendeta dan majelis gereja harus mampu memelihara dan merawat anggota jemaat, supaya jemaat dapat terpelihara dengan baik. Masih banyak gereja yang pendeta dan majelisnya tidak memperhatikan tugas dan tanggung jawab untuk memelihara jemaat Tuhan.  Robet Cowls mengatakan: “Dewasa ini banyak keberadaan gereja hanya memperhatikan pelayanan mimbar (Khotbah) atau pendalaman Alkitab”.[12]  Dari fenomena diatas membuktikan peran pastoral pendeta masih sangat kurang.  Pendeta lebih dominan dalam pelayanan mimbar dan pendalaman Alkitab. Sesungguhnya dalam hal ini tugas seorang pendeta bukan hanya berkhotbah, tetapi lebih dari pada itu setiap anggota jemaat membutuhkan bimbingan pribadi untuk bertumbuh dalam iman.
Dalam sebuah konflik di jemaat ada satu pihak yang diberi mandat untuk menolong menyelesaikan permasalahan tersebut.  Pihak itu sering disebut dengan pendeta. Pendeta berperan sebagai perantara antara kedua pihak yang sedang berselisih yang sering terjadi dalam gereja diantaranya: masalah perselisihan dalam pengajaran, masalah dalam pernikahan, dendam, iri hati, konflik  antara jemaat,  konflik dalam keluarga, masalah teologi dan dogma dan masalah organisasi.
 Beberapa tokoh mendefinisikan mengenai konflik diantaranya: dalam buku yang berjudul “Mengelola Konflik Gereja”, Hugh F. Halverstadt mengutip pendapat Marton Deutsch menjelaskan bahwa ”Konflik adalah pergumulan kekuasaan atas berbagai perbedaan, informasi atau keyakinan yang berbeda, kepentingan, keinginan atau nilai-nilai yang berbeda kemampuan-kemampuan yang berada dalam memperoleh sumber-sumber yang dibutuhkan”.[13]  Selain itu Hugh F. Halverstadt juga  mengutip pendapat Jay Hall yang menjelaskan:
Konflik disini pada dasarnya didefinisikan sebagai keadaan-keadaan baik emosional maupun substantive – yang dapat di hasilkan oleh adanya berbagai perbedaan antara pihak-pihak yang karena alasan apapun berada dalam hubungan yang keras satu dengan yang lainnya.[14]

Sedangkan Daniel webster mendefinisikan konflik sebagai:
Persaingan atau pertantangan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain, keadaan atau perilaku yang bertantangan (misalnya: pertentangan pendapat, kepentingan, atau pertentangan antara individu), perselisihan akibat kebutuhan dirinya, keinginan, atau tuntutan yang bertentangan, perseturuan.[15]

Pengertian Konflik adalah suatu  masalah atau perselisihan atau pertentangan antara dua kekuatan  negatif, pertentangan  dari satu tokoh, pertentangan dua tokoh, yang disebabkan adanya dua gagasan atau lebih atau keinginan yang saling bertentangan untuk menguasai diri sehingga mempengaruhi tingkah laku.[16]  

            Jadi secara umum konflik adalah pertentangan yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang diakibatkan karena perbedaan pendapat atau kepentingan. “Konflik dalam gereja sering terjadi karena masalah teologi dan dogma, masalah organisasi dan kepemimpinan, masalah administrasi dan keuangan”.[17]  Konflik-konflik ini seringkali terjadi dalam kehidupan berjemaat di suatu gereja.
Orang Kristen tidak hanya bertengkar. Seringkali mereka pun berkelahi dengan curang. Berbagai masalah dijadikan masalah pribadi gossip dan desah-desuh mengaburkan penalaran dan akal sehat. Upaya permusuhan melukai semangat kelompok dan menghancurkan ikatan-ikatan persahabatan yang sudah lama. Penilaian-penilaian moralistik menyebabkan rasa saling percaya menguap. Berbagai upaya menjelekan lawan menekan keterbukaan dan kejujuran, aturan-aturan disalah gunakan untuk memproklamasikan para anggota badan-badan pengurus dari pada penalaran atau spritualitas dalam menemukan suara-suara para pemimpin. Tidaklah mengherankan bila begitu banyak orang Kristen bijaksana menghindari konflik dalam gereja seperti mengindari tula-tula dalam mesir dulu. Pertanyaannya adalah apakah orang Kristen boleh bertengkar atau apakah orang Kristen boleh berkelahi dengan curang. Masalahnya adalah apakah berbagai konflik gereja bersifat kristiani.[18]

Penulis mengamati pentingnya peran pastoral pendeta dalam jemaat guna membantu menyelesaikan  konflik khususnya  GSPII di Wilayah Timur dan implikasinya bagi pelayanan pastoral.

Identifikasi Masalah
            Mengacu pada topik penelitian ini, serta merujuk kepada latar belakang masalah sebagaimana dipaparkan di atas, maka peneliti mengidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:
1.    Melihat adanya indikasi terjadinya konflik yang terjadi di gereja GSPII Wilyah Timur maka timbul pertanyaan: Apakah penyebab terjadinya konflik antara jemaat?
2.    Tantangan apa saja yang dihadapi pendeta ketika menjalankan  peran pastoralnya dalam menyelesaikan konflik antara jemaat?  
3.    Melihat adanya indikasi terjadinya konflik dalam gereja GSPII wilayah Timur, maka timbul pertanyaan, bagaimana peran pastoral pendeta terhadap penyelesaian konflik antara jemaat di GSPII Wilayah Timur ?
4.    Dengan Melihat adanya indikasi terjadinya konflik di antara jemaat, maka  peran pastoral sangat penting dalam menyelesaikan konflik tersebut, tetapi kenyataannya tidak demikian.  Timbul pertanyaan,  sejauhmana gembala menjalankan tugas pastoralnya, khususnya di GSPII Wilayah Timur.
5.    Melihat adanya indikasi terjadinya konflik  maka iman jemaat tidak lagi bertumbuh secara rohani dari peristiwa ini timbul pertanyaan  Sejauhmana peran pastoral pendeta efektif dalam menyelesaikan konflik antara jemaat?
6.    Dari indikasi terjadinya konflik tentunya peran pastoral pendeta sangatlah penting dalam menjalankan tanggung jawabnya sebagai gembala namun dalam hal ini timbul pertanyaan:  Apakah  pelayanan pastoral mempunyai pengaruh dalam menyelesaikan konflik antara jemaat?
7.    Bagaimana  pelayanan pastoral pendeta dapat menyelesaikan konflik antara jemaat secara tepat?
                                               
Pembatasan Masalah
Merujuk pada pernyataan judul karya tulis ini yakni “Tinjauan Pastoral Pendeta dan Majelis Gereja Terhadap Penyelesaian Konflik Antara Jemaat Di GSPII Wilayah Timur Dan Implikasinya Bagi Pelayanan Pastoral”, dan berkaitan dengan sejumlah masalah yang telah diidentifikasi di atas, maka penulis akan membatasi dalam tiga masalah, yakni nomor satu, tiga dan lima sebagai berikut: 
1.    Melihat adanya indikasi terjadinya konflik yang terjadi di gereja GSPII Wilayah Timur maka timbul pertanyaan: Apakah penyebab terjadinya konflik antara jemaat?
2.    Melihat adanya indikasi terjadinya konflik dalam gereja GSPII wilayah Timur, maka timbul pertanyaan, bagaimana peran pastoral pendeta terhadap penyelesaian konflik antara jemaat di GSPII Wilayah Timur ?
3.    Melihat adanya indikasi terjadinya konflik  maka iman jemaat tidak lagi bertumbuh secara rohani dari peristiwa ini timbul pertanyaan, sejauhmana peran pastoral pendeta efektif dalam menyelesaikan konflik antara jemaat.

Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah dan batasan masalah tersebut di atas, maka penulis menetpkan rumusan masalah yang dinyatakan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1.    Apakah penyebab terjadinya konflik antara jemaat?
2.    Bagaimana peran pastoral pendeta terhadap penyelesaian konflik antara jemaat di GSPII Wilayah Timur ?
3.    Sejauhmana peran pastoral pendeta efektif dalam menyelesaikan konflik antara jemaat?

Tujuan Penelitian
            Dengan mengacu kepada judul penelitian dan merujuk pada masalah penelitian di atas, maka adapun tujuan dari penelitan ini adalah sebagai berikut:
1.    Untuk menjelaskan  penyebab terjadinya konflik antara jemaat?
2.    Untuk menjelaskan bagaimana peran pastoral terhadap penyelesaian konflik antara jemaat di GSPII Wilayah Timur
3.    Untuk menjelaskan sejauhmana peran pastoral pendeta efektif dalam menyelesaikan konflik antara jemaat.

Kepentingan Penelitian
            Hasil penelitian mengenai “Tinjauan Atas Peran Pastoral Pendeta Terhadap Penyelesaian Konflik Antara Jemaat Di GSPII Wilayah Timur dan Implikasinya Bagi Pelayaan Pastoral” ini diharapkan akan membawa dampak bagi para gembala sidang kepentingan teoritis maupun kepentingan secara praktis seperti berikut ini.

Kepentingan Teoritis
1.    Secara teoritis memberikan pemahaman yang benar mengenai konsep penyelesaian konflik antara jemaat di GSPII Wilayah Timur.
2.    Melalui skripsi ini, terutama para hamba-hamba Tuhan dapat mengerti dan memahami mengenai metode-meode pastoral yang efektif dalam penyelesaian konflik di GSPII Wilayah Timur.
3.    Penelitian ini memberikan wawasan  ilmu pengetahuan, terutama dalam konteks literatur Kristen, yang dapat dijadikan referensi bagi pengetahuan pelayanan pastoral konseling dalam menyelesaikan konflik di GSPII wilayah Timur.

Kepentingan praktis
Sedangkan kepentingan praktis, sebagai berikut:
1.       Bagi penulis, melalui penulisan skripsi ini penulis dapat menambah wawasan, pengetahuan terkait dengan judul skripsi ini.
2.       Bagi para hamba Tuhan GSPII Wilayah Timur, melalui penulisan skripsi ini dapat menjadi refleksi dan bahan untuk dapat mengetahui pelayanan pastoral dalam menyelesaikan konflik dalam jemaat.
3.       Bagi mahasiswa teologi, untuk  menambah wawasan dalam membahas tentang penyelesaian terhadap konflik antar jemaat, serta dapat menambah referensi tentang topik pastoral.

Metodologi
            Metode penelitian terbentuk dari dua kata yang terpisah yaitu metodologi dan penelitian. Metodologi berasal dari kata dasar metode yang artinya prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu dengan langkah-langkah yang sistematis. Penelitian adalah terjemahan dari kata Inggris “research”. Research berasal dari kata “re” yang berarti “kembali” dan “to search” yang berarti “mencari”. Dengan demikian penelitian secara etimologi berarti mencarai kembali.”[19] Metodologi merupakan segala keterangan yang dipakai dalam melakukan penelitian untuk mengumpulkan data-data serta informasi yang berkaitan dengan tinjauan atas peran pastoral pendeta dalam menyelesaikan konflik antara jemaat yang terjadi.  Adapun bagian-bagian dari metodologi adalah metode penelitian, metode pengumpulan data dan metode penulisan.

Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengunakan metode kualitatif. Usman mengatakan bahwa metode kualitatif berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi tingkah laku manusia dalam suatu peristiwa tertentu.[20]

Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang dilakukan penulis berupa riset lapangan, berupa wawancara kepada para gembala sidang dan jemaat di GSPII Wilayah Timur, adapun tujuan wawancara kepada para gembala sidang dan jemaat yaitu untuk meminta penjelasan mengenai peran pastoral pendeta dalam menyelesaikan konflik antara jemaat.


Metode Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif, dimana tujuannya untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasai yang timbul dalam gereja-gereja GSPII Wilayah Timur yang akan menjadi objek penelitian ini.  Muhamad Nasir memberikan pengertian tentang metode deskriptif: “Sebagai suatu metode dalam suatu kelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran atau pun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang”.[21] Tujuannya yakni untuk memaparkan suatu pemahaman yang aktual yang benar-benar terjadi di lingkungan GSPII Wilayah Timur saat ini.
Metode skripsi ini, juga di lengkapi dengan riset kepustakaan dengan tujuan untuk mendukung dan melengkapi beberapa data penulisan yang berkaitan dengan penyelesaian konflik antara jemaat.

Definisi istilah
      Pada bagian ini penulis akan mendefinisikan beberapa istilah penting yang ada pada judul skripsi ini.  Istilah-istilah yang dimaksud:  pastoral, pendeta, konflik, GSPII
Istilah Pastoral, pastoral berasal dari kata pastor dalam bahasa latin atau bahasa yunani disebut  “Poimen” yang artinya gembala”. Secara tradisional dalam kehidupan gerejawai hal ini merupakan tugas pendeta yang harus menjadi gembala bagi domba-dombanya.  Pengistilahan ini dihubungkan dengan diri Yesus Kristus dan karya-Nya sebagai pastor sejati atau gembala yang baik (Yoh 10).  Ungkapan dari bacaan ini mengacu pada pelayanan Yesus Kristus yang tanpa pamrih, bersedia memberikan pertolongan dan pengasuhan terhadap pengikut-Nya bahkan rela mengorbankan nyawa-Nya.[22]

Pastoral, terkait dengan pemahaman pelayanan kepada dan perhatian terhadap yang lain, pelayanan yang mencangkup manusia seutuhnya, pelayanan yang memperhatikan situasi yang berbeda-beda, pelayanan yang berlangsung dalam pertemuan dan percakapan, pelayanan yang berdasarkan iman kristiani, pelayanan yang bersama-sama dengan pelayanan organisasi-organisasi lain.  Maka definisi pastoral adalah pelayanan yang di selenggarakan oleh gereja dan berdasarkan iman kristiani.[23]
            “Dalam Anggaran Dasar dan Anggran Rumah Tangga (AD/ART) GSPII seorang gembala sidang adalah pendeta atau pendeta muda yang menggembalakan jemaat setempat sepenuh waktu (full time), ditahbiskan sebagai gembala sidang dan mendapat SK[24] dari MS[25][26]. Menjadi pendeta di GSPII tentunya sudah menempuh persyaratan yang telah ditentukan olah AD/ART GSPII adalah sebagai berikut:
  1. Sudah membuktikan kemurnian panggilanya untuk melayani Tuhan  sebagai hamba Tuhan.
  2. Sudah membuktikan diri bahwa yang bersangkutan memiliki karunia rohani dalam bidang pelayanan, misalnya :
i.      Bidang penggembalaan .
ii.    Bidang penginjilan.
iii.   Bidang pengajaran.
iv.   Bidang perintisan jemaat.
c.    Sudah melayani sebagai tenaga sepenuh waktu GSPII paling tidak 5 tahun.
  1. Jika calon tersebut sudah berkeluarga, istri/suaminya harus ikut mendukung pelayanannya, sesuai dengan karunia dan kondisinya.  Apabila sewaktu-waktu dibuhtuhkan dengan sukarela bersedia dimutasikan demi perkembangan GSPII.
  2. Sudah mendapat setidaknya 90 sks STTIE atau sederajat Sekolah Teologi yang direkomendasi GSPII.
f.     Telah lulus wawancara dan mendapat persetujuan dari Majelis Sinode.[27]

             Menurut G.D. Dahlenburg, pendeta adalah seorang hamba yang diutus Tuhan untuk melayani dan bertanggung jawab dengan apa yang Tuhan percayakan untuk menyampaikan Injil kebenaran kepada semua orang”.[28]
             Pendeta terpanggil untuk menjalankan pekerjaan pelayanan di dalam gereja atau suatu jemaat tertentu. Pekerjaan pelayanan itu antara lain memeberitakan Firman Tuhan, melayani sakramen yang diakui oleh gereja atau jemaat tersebut dan tugas-tugas pastoral atau pengembalaan lainnya. Selain itu pendeta juga merupakan pemimpin dalam jemaat. Menurut Notohamidjojo pemimpin adalah orang dewasa dengan wibawanya berusaha untuk mencapai tujuan organisasinya atas dasar kerjasama yang baik menurut peraturan yang ditetapkan bersama serta kebijaksanaan yang sewajarnya  untuk mencapai tujuan.[29] 
                   ”Konflik adalah percecokan, perselisihan, pertantangan antara kedua  kekuatan, pertentangan antara satu tokoh dan pertentangan antara dua tokoh”.[30]  
Pendapat lain dari definisi konflik adalah Persaingan atau pertentangan  antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain, serta keadaan atau perilaku yang bertentangan (misalnya: pertetangan pendapat, kepentingan, atau pertentangan antara individu), dan perselisihan akibat kebutuhan dirinya, keinginan, atau tuntutan yang bertentangan serta perseturuan.[31]
           
GSPII Wilayah Timur adalah Gereja Sidang Persekutuan Injili Indonesia yang:
Bersifat persekutuan rohani yang mengambil teladan dari sidang Kristus Perjanjian Baru seperti dalam Kis 2:41-47 yaitu
1.   Bertekun dalam pengajaran rasul-rasaul.
2.   Bertekun dalam persekutuan yang bersifat rohani.
3.  Bertekun dalam pemecahan roti, yang peringatan akan kematian  Tuhan Yesus.
4.   Bertekun dalam doa.
5.   Bertekun dalam ibadah.[32]

Wilayah Timur terdiri dari delapan gereja yaitu GSPII Kertajaya Surabaya, GSPII Simo Surabaya, GSPII Berea Sidoarjo,GSPII Probolinggo, GSPII Ketapang Madura ,GSPII Pamakasan Madura dan GSPII Sumenep Madura.


Sistematika penulisan
Pembahasan akan dibagi dalam lima bab sebagai berikut:
Bab pertama, pendahuluan: bagian ini berisi tentang latar belakang, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, kepentingan penulisan, metodologi, definisi istilah, dan sistematika penulisan.
Bab kedua, landasan teori yang akan membahas tentang, potensi konflik dalam jemaat,  faktor penyebab terjandinya konflik, peran pastoral pendeta dalam menyelesaikan konflik antara jemaat, kerangka berfikir, rumusan hipotesis
Bab tiga, metodologi penelitian.  Untuk menyajikan metode penelitian tentang bagaimana tinjauan pastoral dalam menyelesaikan konflik antara jemaat di GSPII wilayah timur serta menganalisa pokok-pokok pembahasan yang telah diungkapkan dalam rumusan masalah dan tujuan penelitian maka penulis menggunakan metode kualitatif  (wawancara  penelitian secara langsung), ruang lingkup.
Bab empat, akan menjelaskan tentang pembahasan hasil penelitian dan strategi pastoral pendeta dalam menyelesaikan konflik antara jemaat.
Bab kelima, kesimpulan dan saran, bagian ini akan dijelaskan berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan.




[1] Aart Van Beek, Pendamping Patoral, (Jakarta: Gunung Mulia, 2014 ), 10.
[2] Hikmawati Fenti, Bimbingan Konseling, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 10.
[3]Ibid, 10.
[4] Hasil pengamatan penulis karena penulis melayani di gereja tersebut.
[5]Hasil wawancara dari pendeta-pendeta GSPII
[6] Wawancara Pdt. Sutarno. M.div. jam 13.30, tanggal 30 Maret 2015
[7] Wawancara. Pdt. Eko junianto. STh. Jam 16.00, tangal 31 Maret 2015.
[8] Wawancara. Pdt. Diyan susanto. STh. Jam 17.30,  tanggal 18 April 2015
[9]Yakub. B. Susabda, Pastoral Konseling  Jilid I, (Malang: Gandum Mas, 1996), 2.
[10] Robert Cowles, Gembala Sidang, (Bandung: Kalam Hidup, 1977 ), 7.
[11]Ibid, 7.
[12]Ibid, 1.
[13] Hugh F. Halverstadt. Mengelola Konflik Gereja. (Jakarta:BPK  Gunung Mulia, 2012), 5.
[14] Ibid, 5.
[15] Peg pickering. Kiat menagani Konflik, (Jakarta: Erlangga, 2006), 1.
[16] http://kbbi.web.id/konflik. diunduh Sidoarjo 6 Desember 2014.
[17] Farel Panjaitan, Firman Hidup 68, (Jakarta: BPk Gunung Mulia, 2008), 141.
[18] Hugh f. Halverstadt,  Mengelolah Konflik Gereja, (Jakarta: Bpk Gunung Mulia), 2

[19] Moh. Nazir.  Metodologi Penelitian. (Jakarta: Ghalia Indo, 1985), 13.
[20]Ronny Kountur. Metode Penelitian. (Jakarta: PPM,2007), 16.
[21] Muhamad Nasir, Metode Penelitian,(Jakarta: Ghalia,1988), 63.
[22] Aart Van Beek, Pendamping Patoral, (Jakarta: BPKunung Mulia ), 10.
[23]J.L. Ch. Abineno, Pedoman Praktis untuk Pelayanan Pastoral,(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 14.
[24] SK artinya surat kerja
[25] MS artinya majelis sinode
[26]GSPII  (Gereja Sidang Persekutuan Injili Indonesia),  Anggaran Dasar  dan  Anggaran Rumah Tangga, (Sarangan: 2013), 24.
[27] Ibid, 25.
[28] Dahlenburg, G.D, Apakah Pendeta Itu?, (Jakarta: BPK.Gunung Mulia 1999), 73.
[29] O. Notohamidjojo, Kreativitas yang Bertanggung Jawab, (Salatiga: LPIS, IKIP Kristen Satyawacana, Bagian II, 1973), 386
[30]Tim Penyusun Kamus Pusat pembinaan dan pengembangan bahasa,  Kamus Besar Bahasa Indonesia,edisi kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 455.
[31]Peg Pickering, Kiat Menagani Konflik, (Jakarta: Erlangga, 2006), 1.
[32] Anggaran Dasar Dan Anggaran Rumah Tangga GSPII. (Sarangan 04- 05 November, 2013), 5-6.

0 komentar: