www.idntimes.com
CONTOH PROPOSAL
Oleh Serlyanti
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan dijelaskan secara
sistematis latar belakang, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan
masalah, tujuan penulisan, singnifikan penulisan, kepentingasn teoritis,
kepentingan praktis, metodologi, metodologi penelitian, metodologi pengumpulan
data, metode penulisan, definisi istilah, dan sistematika penulisan.
Latar Belakang Masalah
Gereja terdiri dari umat Allah, yang
ditebus oleh Tuhan Yesus Kristus dengan darah-Nya sendiri. Di dalam gereja itu juga umat Allah bersekutu
untuk mendengar Firman Allah yang menjadi penuntun dalam kehidupannya
sehari-hari. Sebagai umat Allah manusia
tidak terlepas dari persoalan hidupnya, karena ternyata umat Allah juga
membutuhkan bimbingan pribadi untuk bertumbuh dan menyelesaikan masalah atau
hambatan-hambatan dalam hidup pribadinya, sehingga membutuhkan peran pastoral.
Istilah Pastoral, pastoral berasal dari kata pastor dalam bahasa latin atau bahasa yunani
disebut “poimen” yang artinya gembala”. Secara tradisional dalam kehidupan
gerejawai hal ini merupakan tugas pendeta yang harus menjadi gembala bagi domba-dombanya. Pengistilahan ini dihubungkan dengan diri
Yesus Kristus dan karya-Nya sebagai pastor sejati atau gembala yang baik (Yoh
10). Ungkapan dari bacaan ini mengacu
pada pelayanan Yesus Kristus yang tanpa pamrih, bersedia memberikan pertolongan
dan pengasuhan terhadap pengikut-Nya bahkan rela mengorbankan nyawa-Nya.[1]
”Istilah pastor dalam
konotasi praktisnya sebenarnya adalah merawat atau memelihara. Sikap pastoral
diharapkan dapat mewarnai semua sendi pelayanan setiap orang yang dirawat dan
diasuh oleh Allah secara sungguh-sungguh”.[2] Jadi Pastoral artinya
pelayanan gembala yang memberikan nasihat,
penghiburan dan penguatan bagi warga gerejanya. Pelayanan pastoral mempunyai sifat pertemuan
yaitu: antara gembala dan anggota jemaat yang membutuhkan bantuan pelayanan
pastoral. ”Sebenarnya pastoral adalah yang memimpin dan memberi isi kepada
pertemuan mereka, istilah ini dihubungkan dengan diri Yesus Kristus dan
karyaNya sebagai pastor sejati yang baik (Yoh. 10)”.[3]
Peran Pastoral sangat penting dalam kehidupan
sehari-hari terutama bagi jemaat. Salah
satu contoh, konflik perselisihan yang terjadi di salah satu Gereja Sidang
Persekutuan Injili Indonesia (GSPII) di Jawa Timur, terjadi konflik dua anggota
jemaat akibat dari sebuah peristiwa kesalahpahaman kecil. Salah satu anggota jemaat “mengupload” sesuatu yang tidak berkenan
di hati jemaat yang bersangkutan, akibatnya terjadi perselisihan yang sangat
rumit bahkan sampai melibatkan gembala dari gereja tersebut. Pada akhirnya masalah ini tidak dapat diselesaikan
dengan tuntas karena kedua pihak tidak dapat dipertemukan.[4] Menurut data
yang didapatkan penulis dari beberapa pendeta di GSPII Wilayah Timur, konflik antara jemaat
yang sering terjadi adalah: kesalahpahaman antara suami dan istri baik
itu karena perasaan yang tidak enak, anggapan yang salah sehingga menimbulkan
konflik, kesalahpahaman antara jemaat satu dan jemaat yang lain, informasi yang
berbeda antara satu dan yang lain sehingga menimbulkan konflik antara jemaat,
relasi yang tidak harmonis, serta masalah pribadi yang dibawa di dalam ranah
gereja sehingga bisa mempengaruhi pelayanan, kurangnya kordinasi pelayaan
sehingga memicu terjadinya konflik, dan
rasa cemburu yang timbul dalam
hati antara jemaat.[5]
Beberapa konflik yang proses penyelesaiannya
membutuhkan waktu yang lama yaitu rasa kecewa, sikap yang kurang baik dalam
pelayanan karena pengaruh budaya dan latar belakang yang berbeda. Beberapa konflik yang tidak dapat
diselesaikan sekalipun sudah ada bimbingan dari pendeta yaitu kesalahpahaman,
rasa cemburu antara suami dan istri yang berkelebihan sehingga menimbul konflik
dan sampai akhirnya bercerai,
Kebiasaan-kbiasaan jemaat yang sukar dirubah seperti kebiasaan
berhutang. Jika masalah-masalah diatas
tetap tidak terselesaikan, hal ini akan
menimbulkan dampak yang cukup serius bagi keutuhan jemaat. Bahkan bisa
mengakibatkan perpecahan dalam gereja.
Dari data yang diperoleh penulis
melalui wawancara dengan beberapa
pendeta GSPII dihasilkan:
No
|
Wawancara pendeta
|
Jam
|
Tanggal/Bulan/Tahun
|
Tahun
peristiwa
|
Konflik yang terjadi
|
1
|
Pdt. Sutarno. M.div[6]
|
13.30
|
30/
Maret/
2015
|
1999
2000/
2014
|
-
KDRT
sehingga mengakibatkan perceraian
-
Konflik
antara jemaat sudah pernah terjadi
|
2
|
16.00
|
31/
Maret/
2015
|
2009-2014
|
-
Konflik
salah paham antara jemaat
-
Informasi
yang berbeda antara satu dngan yang lain sehingga menimbulkan konflik
-
Masalah
pribadi yang dibawa dalam ranah gereja
dan
-
Konflik
terjadi lebih dari lima di setiap
tahunnya
|
|
3
|
17.30
|
18/
April/ 2015
|
2009
2013
2014
|
-
antara
jemaat,
-
salah
paham antara jemaat
-
konflik
suami dan istri
-
antara
pengurus gereja dan jemaat
-
antara
pelayan Tuhan
-
antara
majelis
-
antara
gembala dan majelis
-
konflik
pribadi
antara suami dan istri
|
Dalam hal
ini, peran pastoral pendeta sangatlah penting dalam menyelesaikan konflik yang ada di
dalam gereja tersebut karena selalu ada potensi konflik dalam jemaat yang harus
diantisipasi diantaranya rasa ketidak-sukaan antara jemaat yang satu dengan
yang lain, perbedaan kelas sosial yang terlalu mencolok, perbedaan latar
belakang budaya, karakter jemaat yang berbeda-beda, ketidak dewasaan rohani
jemaat dan faktor-faktor lainnya.
Menyadari akan hal itu gereja
memerlukan pemelihara jiwa yaitu para pelayan rohani yakni pendeta. Di bawah terang Firman Tuhan
pendeta menolong, memberi bimbingan untuk menemukan sendi jawaban atas
persoalan hidup jemaat.[9] Seorang pendeta tidak akan membiarkan
domba-dombanya tercerai-berai antara domba yang satu dengan domba yang lain,
melainkan pendeta merangkul domba-dombanya dan mengasihinya. “Salah satu sifat
yang terpenting yang diberikan Allah
kepada gembala sidang, ialah kesanggupan untuk mengasihi semua orang”.[10] Dalam arti pendeta harus memiliki ketulusan
hati dan kasih yang tulus dalam
menjalankan tugasnya sebagai pendeta.
Pendeta harus memiliki hubungan
yang baik yang saling mengenal dengan dombanya.
Domba mengenal gembalanya dan gembala mengasihi setiap dombanya.
Inilah pentingnya peran pastoral
pendeta sebagai bentuk jalan keluar dalam penyelasaian konflik yang ada dalam
gereja. “Pada umumnya para ahli berpendapat bahwa pelayanan pastoral tidak lain
dari pemberian nasehat”[11]. Dalam bagian ini peran pastoral pendeta dan
majelis gereja harus mampu memelihara dan merawat anggota jemaat, supaya jemaat
dapat terpelihara dengan baik. Masih banyak gereja yang pendeta dan majelisnya
tidak memperhatikan tugas dan tanggung jawab untuk memelihara jemaat
Tuhan. Robet
Cowls mengatakan: “Dewasa ini banyak keberadaan gereja hanya
memperhatikan pelayanan mimbar (Khotbah) atau pendalaman Alkitab”.[12] Dari fenomena diatas membuktikan peran
pastoral pendeta masih sangat kurang.
Pendeta lebih dominan dalam pelayanan mimbar dan pendalaman Alkitab.
Sesungguhnya dalam hal ini tugas seorang pendeta bukan hanya berkhotbah, tetapi
lebih dari pada itu setiap anggota jemaat membutuhkan bimbingan pribadi untuk
bertumbuh dalam iman.
Dalam sebuah konflik di jemaat ada satu pihak yang diberi
mandat untuk menolong menyelesaikan permasalahan tersebut. Pihak itu sering disebut dengan pendeta. Pendeta
berperan sebagai perantara antara kedua pihak yang sedang berselisih yang sering terjadi dalam gereja
diantaranya: masalah perselisihan dalam pengajaran, masalah dalam pernikahan, dendam, iri hati, konflik antara jemaat,
konflik dalam keluarga, masalah teologi dan dogma dan masalah organisasi.
Beberapa tokoh mendefinisikan mengenai konflik diantaranya: dalam buku yang berjudul “Mengelola
Konflik Gereja”, Hugh F. Halverstadt mengutip pendapat Marton
Deutsch menjelaskan bahwa ”Konflik
adalah pergumulan kekuasaan atas berbagai perbedaan, informasi atau keyakinan
yang berbeda, kepentingan, keinginan atau nilai-nilai yang berbeda
kemampuan-kemampuan yang berada dalam memperoleh sumber-sumber yang
dibutuhkan”.[13] Selain itu Hugh F. Halverstadt juga
mengutip pendapat Jay Hall yang menjelaskan:
Konflik disini pada dasarnya didefinisikan sebagai
keadaan-keadaan baik emosional maupun substantive – yang dapat di hasilkan oleh
adanya berbagai perbedaan antara pihak-pihak yang karena alasan apapun berada
dalam hubungan yang keras satu dengan yang lainnya.[14]
Sedangkan
Daniel
webster mendefinisikan konflik sebagai:
Persaingan atau
pertantangan antara
pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain, keadaan atau perilaku yang
bertantangan (misalnya: pertentangan pendapat, kepentingan, atau pertentangan antara individu), perselisihan
akibat kebutuhan dirinya, keinginan, atau tuntutan yang bertentangan, perseturuan.[15]
Pengertian Konflik adalah suatu masalah atau perselisihan atau pertentangan antara dua kekuatan negatif, pertentangan dari satu tokoh, pertentangan dua tokoh, yang disebabkan adanya dua
gagasan atau lebih atau keinginan yang saling bertentangan untuk menguasai diri sehingga
mempengaruhi tingkah laku.[16]
Jadi secara umum konflik adalah pertentangan
yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang diakibatkan karena perbedaan
pendapat atau kepentingan. “Konflik dalam gereja sering terjadi karena masalah
teologi dan dogma, masalah organisasi dan kepemimpinan, masalah administrasi dan keuangan”.[17] Konflik-konflik ini seringkali terjadi dalam kehidupan
berjemaat di suatu gereja.
Orang Kristen tidak hanya bertengkar. Seringkali mereka pun
berkelahi dengan curang. Berbagai masalah dijadikan masalah pribadi gossip dan
desah-desuh mengaburkan penalaran dan akal sehat. Upaya permusuhan melukai
semangat kelompok dan menghancurkan ikatan-ikatan persahabatan yang sudah lama.
Penilaian-penilaian moralistik menyebabkan rasa saling percaya menguap.
Berbagai upaya menjelekan lawan menekan keterbukaan dan kejujuran,
aturan-aturan disalah gunakan untuk memproklamasikan para anggota badan-badan
pengurus dari pada penalaran atau spritualitas dalam menemukan suara-suara para
pemimpin. Tidaklah mengherankan bila begitu banyak orang Kristen bijaksana
menghindari konflik dalam gereja seperti mengindari tula-tula dalam mesir dulu.
Pertanyaannya adalah apakah orang Kristen boleh bertengkar atau apakah orang
Kristen boleh berkelahi dengan curang. Masalahnya adalah apakah berbagai
konflik gereja bersifat kristiani.[18]
Penulis mengamati pentingnya peran
pastoral pendeta dalam jemaat guna membantu menyelesaikan konflik khususnya GSPII di Wilayah Timur dan implikasinya bagi
pelayanan pastoral.
Identifikasi Masalah
Mengacu pada topik penelitian ini,
serta merujuk kepada latar belakang masalah sebagaimana dipaparkan di atas,
maka peneliti mengidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:
1. Melihat adanya indikasi terjadinya
konflik yang terjadi di gereja GSPII Wilyah Timur maka timbul pertanyaan:
Apakah penyebab terjadinya konflik antara jemaat?
2.
Tantangan
apa saja yang dihadapi pendeta ketika menjalankan peran pastoralnya dalam menyelesaikan konflik
antara jemaat?
3.
Melihat
adanya indikasi terjadinya konflik dalam gereja GSPII wilayah Timur, maka
timbul pertanyaan, bagaimana peran pastoral pendeta terhadap penyelesaian
konflik antara jemaat di GSPII Wilayah Timur ?
4. Dengan Melihat adanya indikasi
terjadinya konflik di antara jemaat, maka
peran pastoral sangat penting dalam menyelesaikan konflik tersebut,
tetapi kenyataannya tidak demikian.
Timbul pertanyaan, sejauhmana
gembala menjalankan tugas pastoralnya, khususnya di GSPII Wilayah Timur.
5. Melihat adanya indikasi terjadinya
konflik maka iman jemaat tidak lagi
bertumbuh secara rohani dari peristiwa ini timbul pertanyaan Sejauhmana peran pastoral pendeta efektif
dalam menyelesaikan konflik antara jemaat?
6. Dari indikasi terjadinya konflik
tentunya peran pastoral pendeta sangatlah penting dalam menjalankan tanggung
jawabnya sebagai gembala namun dalam hal ini timbul pertanyaan: Apakah
pelayanan pastoral mempunyai pengaruh dalam menyelesaikan konflik antara
jemaat?
7. Bagaimana pelayanan pastoral pendeta dapat menyelesaikan
konflik antara jemaat secara tepat?
Pembatasan Masalah
Merujuk pada pernyataan judul karya
tulis ini yakni “Tinjauan Pastoral Pendeta dan Majelis Gereja Terhadap
Penyelesaian Konflik Antara Jemaat Di GSPII Wilayah Timur Dan Implikasinya Bagi
Pelayanan Pastoral”, dan berkaitan dengan sejumlah masalah yang telah
diidentifikasi di atas, maka penulis akan membatasi dalam tiga masalah, yakni
nomor satu, tiga dan lima sebagai berikut:
1.
Melihat
adanya indikasi terjadinya konflik yang terjadi di gereja GSPII Wilayah Timur maka timbul pertanyaan:
Apakah penyebab terjadinya konflik antara jemaat?
2.
Melihat
adanya indikasi terjadinya konflik dalam gereja GSPII wilayah Timur, maka
timbul pertanyaan, bagaimana peran pastoral pendeta terhadap penyelesaian
konflik antara jemaat di GSPII Wilayah Timur ?
3. Melihat adanya indikasi terjadinya
konflik maka iman jemaat tidak lagi
bertumbuh secara rohani dari peristiwa ini timbul pertanyaan, sejauhmana peran
pastoral pendeta efektif dalam menyelesaikan konflik antara jemaat.
Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah dan
batasan masalah tersebut di atas, maka penulis menetpkan rumusan masalah yang
dinyatakan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1.
Apakah
penyebab terjadinya konflik antara jemaat?
2.
Bagaimana
peran pastoral pendeta terhadap penyelesaian konflik antara jemaat di GSPII
Wilayah Timur ?
3. Sejauhmana peran pastoral pendeta
efektif dalam menyelesaikan konflik antara jemaat?
Tujuan Penelitian
Dengan
mengacu kepada judul penelitian dan merujuk pada masalah penelitian di atas,
maka adapun tujuan dari penelitan ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk
menjelaskan penyebab terjadinya konflik
antara jemaat?
2.
Untuk
menjelaskan bagaimana peran pastoral terhadap penyelesaian konflik antara
jemaat di GSPII Wilayah Timur
3. Untuk menjelaskan sejauhmana peran
pastoral pendeta efektif dalam menyelesaikan konflik antara jemaat.
Kepentingan Penelitian
Hasil
penelitian mengenai “Tinjauan Atas Peran Pastoral Pendeta Terhadap Penyelesaian
Konflik Antara Jemaat Di GSPII Wilayah Timur dan Implikasinya Bagi Pelayaan
Pastoral” ini diharapkan akan membawa dampak bagi para gembala sidang
kepentingan teoritis maupun kepentingan secara praktis seperti berikut ini.
Kepentingan Teoritis
1. Secara teoritis memberikan pemahaman
yang benar mengenai konsep penyelesaian konflik antara jemaat di GSPII Wilayah
Timur.
2. Melalui skripsi ini, terutama para
hamba-hamba Tuhan dapat mengerti dan memahami mengenai metode-meode pastoral
yang efektif dalam penyelesaian konflik di GSPII Wilayah Timur.
3. Penelitian ini memberikan wawasan ilmu pengetahuan, terutama dalam konteks
literatur Kristen, yang dapat dijadikan referensi bagi pengetahuan pelayanan
pastoral konseling dalam menyelesaikan konflik di GSPII wilayah Timur.
Kepentingan
praktis
Sedangkan kepentingan praktis, sebagai berikut:
1.
Bagi penulis, melalui penulisan skripsi ini
penulis dapat menambah wawasan, pengetahuan terkait dengan judul skripsi ini.
2.
Bagi para hamba Tuhan GSPII Wilayah Timur,
melalui penulisan skripsi ini dapat menjadi refleksi dan bahan untuk dapat
mengetahui pelayanan pastoral dalam menyelesaikan konflik dalam jemaat.
3.
Bagi mahasiswa teologi, untuk menambah wawasan dalam membahas tentang
penyelesaian terhadap konflik antar jemaat, serta dapat menambah referensi
tentang topik pastoral.
Metodologi
Metode
penelitian terbentuk dari dua kata yang terpisah yaitu metodologi dan penelitian.
Metodologi berasal dari kata dasar metode yang artinya prosedur atau cara untuk
mengetahui sesuatu dengan langkah-langkah yang sistematis. Penelitian adalah terjemahan
dari kata Inggris “research”. Research berasal dari kata “re” yang
berarti “kembali” dan “to search” yang berarti “mencari”.
Dengan demikian penelitian secara etimologi berarti mencarai kembali.”[19] Metodologi merupakan segala
keterangan yang dipakai dalam melakukan penelitian untuk mengumpulkan data-data
serta informasi yang berkaitan dengan tinjauan atas peran pastoral pendeta
dalam menyelesaikan konflik antara jemaat yang terjadi. Adapun bagian-bagian dari metodologi adalah
metode penelitian, metode pengumpulan data dan metode penulisan.
Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis
mengunakan metode kualitatif. Usman mengatakan bahwa metode kualitatif berusaha
memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi tingkah laku manusia
dalam suatu peristiwa tertentu.[20]
Metode Pengumpulan Data
Metode
pengumpulan data yang dilakukan penulis berupa riset lapangan, berupa wawancara
kepada para gembala sidang dan jemaat di GSPII Wilayah Timur, adapun tujuan
wawancara kepada para gembala sidang dan jemaat yaitu untuk meminta penjelasan
mengenai peran pastoral pendeta dalam menyelesaikan konflik antara jemaat.
Metode Penulisan
Dalam
penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif, dimana tujuannya
untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasai yang
timbul dalam gereja-gereja GSPII Wilayah Timur yang akan menjadi objek
penelitian ini. Muhamad Nasir memberikan
pengertian tentang metode deskriptif: “Sebagai suatu metode dalam suatu
kelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran atau
pun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang”.[21] Tujuannya yakni untuk
memaparkan suatu pemahaman yang aktual yang benar-benar terjadi di lingkungan
GSPII Wilayah Timur saat ini.
Metode skripsi
ini, juga di lengkapi dengan riset kepustakaan dengan tujuan untuk mendukung
dan melengkapi beberapa data penulisan yang berkaitan dengan penyelesaian
konflik antara jemaat.
Definisi
istilah
Pada
bagian ini penulis akan mendefinisikan beberapa istilah penting yang ada pada
judul skripsi ini. Istilah-istilah yang
dimaksud: pastoral, pendeta, konflik,
GSPII
Istilah Pastoral, pastoral berasal dari kata pastor dalam bahasa latin
atau bahasa yunani disebut “Poimen” yang artinya gembala”. Secara
tradisional dalam kehidupan gerejawai hal ini merupakan tugas pendeta yang
harus menjadi gembala bagi domba-dombanya.
Pengistilahan ini dihubungkan dengan diri Yesus Kristus dan karya-Nya
sebagai pastor sejati atau gembala yang baik (Yoh 10). Ungkapan dari bacaan ini mengacu pada
pelayanan Yesus Kristus yang tanpa pamrih, bersedia memberikan pertolongan dan
pengasuhan terhadap pengikut-Nya bahkan rela mengorbankan nyawa-Nya.[22]
Pastoral, terkait dengan pemahaman
pelayanan kepada dan perhatian terhadap yang lain, pelayanan yang mencangkup
manusia seutuhnya, pelayanan yang memperhatikan situasi yang berbeda-beda,
pelayanan yang berlangsung dalam pertemuan dan percakapan, pelayanan yang
berdasarkan iman kristiani, pelayanan yang bersama-sama dengan pelayanan
organisasi-organisasi lain. Maka
definisi pastoral adalah pelayanan yang di selenggarakan oleh gereja dan
berdasarkan iman kristiani.[23]
“Dalam Anggaran Dasar dan Anggran
Rumah Tangga (AD/ART) GSPII seorang gembala sidang adalah pendeta atau pendeta
muda yang menggembalakan jemaat setempat sepenuh waktu (full time), ditahbiskan sebagai gembala sidang dan mendapat SK[24] dari MS[25]”[26]. Menjadi pendeta di GSPII
tentunya sudah menempuh persyaratan yang telah ditentukan olah AD/ART GSPII
adalah sebagai berikut:
- Sudah membuktikan kemurnian panggilanya untuk melayani
Tuhan sebagai hamba Tuhan.
- Sudah membuktikan diri bahwa yang bersangkutan memiliki
karunia rohani dalam bidang pelayanan, misalnya :
i.
Bidang penggembalaan .
ii.
Bidang penginjilan.
iii.
Bidang pengajaran.
iv.
Bidang perintisan jemaat.
c.
Sudah melayani sebagai
tenaga sepenuh waktu GSPII paling tidak 5 tahun.
- Jika calon tersebut sudah berkeluarga, istri/suaminya
harus ikut mendukung pelayanannya, sesuai dengan karunia dan
kondisinya. Apabila sewaktu-waktu
dibuhtuhkan dengan sukarela bersedia dimutasikan demi perkembangan GSPII.
- Sudah mendapat setidaknya 90 sks STTIE atau sederajat
Sekolah Teologi yang direkomendasi GSPII.
f.
Telah lulus wawancara dan
mendapat persetujuan dari Majelis Sinode.[27]
Menurut G.D.
Dahlenburg, “pendeta adalah seorang hamba yang diutus Tuhan untuk melayani
dan bertanggung jawab dengan apa yang Tuhan percayakan untuk menyampaikan Injil
kebenaran kepada semua orang”.[28]
Pendeta terpanggil untuk menjalankan pekerjaan
pelayanan di dalam gereja atau suatu jemaat tertentu. Pekerjaan pelayanan itu
antara lain memeberitakan Firman Tuhan, melayani sakramen yang diakui oleh
gereja atau jemaat tersebut dan tugas-tugas pastoral atau pengembalaan lainnya.
Selain itu pendeta juga merupakan pemimpin dalam jemaat. Menurut Notohamidjojo pemimpin
adalah orang dewasa dengan wibawanya berusaha untuk mencapai tujuan organisasinya
atas dasar kerjasama yang baik menurut peraturan yang ditetapkan bersama serta kebijaksanaan
yang sewajarnya untuk mencapai tujuan.[29]
”Konflik
adalah percecokan, perselisihan, pertantangan antara kedua kekuatan, pertentangan antara satu tokoh dan
pertentangan antara dua tokoh”.[30]
Pendapat lain dari definisi konflik adalah Persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain, serta keadaan atau
perilaku yang bertentangan (misalnya: pertetangan pendapat, kepentingan, atau pertentangan antara individu), dan
perselisihan akibat kebutuhan dirinya, keinginan, atau tuntutan yang bertentangan serta perseturuan.[31]
GSPII Wilayah Timur adalah Gereja
Sidang Persekutuan Injili Indonesia yang:
Bersifat persekutuan rohani yang mengambil teladan dari sidang Kristus
Perjanjian Baru seperti dalam Kis 2:41-47 yaitu
1.
Bertekun
dalam pengajaran rasul-rasaul.
2.
Bertekun
dalam persekutuan yang bersifat rohani.
3. Bertekun dalam pemecahan roti, yang
peringatan akan kematian Tuhan Yesus.
4.
Bertekun
dalam doa.
5.
Bertekun
dalam ibadah.[32]
Wilayah
Timur terdiri dari delapan gereja yaitu GSPII
Kertajaya Surabaya, GSPII Simo Surabaya, GSPII Berea Sidoarjo,GSPII Probolinggo, GSPII Ketapang Madura ,GSPII
Pamakasan Madura dan
GSPII Sumenep Madura.
Sistematika penulisan
Pembahasan
akan dibagi dalam lima bab sebagai berikut:
Bab pertama, pendahuluan: bagian ini
berisi tentang latar belakang, identifikasi masalah, pembatasan masalah,
rumusan masalah, tujuan penulisan, kepentingan penulisan, metodologi, definisi
istilah, dan sistematika penulisan.
Bab kedua, landasan teori yang akan
membahas tentang, potensi konflik dalam jemaat,
faktor penyebab terjandinya konflik, peran pastoral pendeta dalam
menyelesaikan konflik antara jemaat, kerangka berfikir, rumusan hipotesis
Bab tiga, metodologi penelitian. Untuk menyajikan metode penelitian tentang
bagaimana tinjauan pastoral dalam menyelesaikan konflik antara jemaat di GSPII
wilayah timur serta menganalisa pokok-pokok pembahasan yang telah diungkapkan
dalam rumusan masalah dan tujuan penelitian maka penulis menggunakan metode
kualitatif (wawancara penelitian secara langsung), ruang lingkup.
Bab empat, akan menjelaskan tentang
pembahasan hasil penelitian dan strategi pastoral pendeta dalam menyelesaikan
konflik antara jemaat.
Bab kelima, kesimpulan dan saran,
bagian ini akan dijelaskan berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan.
[2] Hikmawati Fenti, Bimbingan
Konseling, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 10.
[3]Ibid, 10.
[4]
Hasil pengamatan penulis karena penulis melayani di gereja tersebut.
[5]Hasil
wawancara dari pendeta-pendeta GSPII
[6]
Wawancara Pdt. Sutarno. M.div. jam 13.30, tanggal 30 Maret 2015
[7]
Wawancara. Pdt. Eko junianto. STh. Jam 16.00, tangal 31 Maret 2015.
[8]
Wawancara. Pdt. Diyan susanto. STh. Jam 17.30,
tanggal 18 April 2015
[10] Robert Cowles, Gembala
Sidang, (Bandung: Kalam Hidup, 1977 ), 7.
[11]Ibid, 7.
[12]Ibid, 1.
[13] Hugh F. Halverstadt. Mengelola
Konflik Gereja. (Jakarta:BPK Gunung
Mulia, 2012), 5.
[14] Ibid, 5.
[21]
Muhamad Nasir, Metode Penelitian,(Jakarta:
Ghalia,1988), 63.
[22] Aart Van Beek, Pendamping
Patoral, (Jakarta: BPKunung Mulia ), 10.
[23]J.L. Ch. Abineno, Pedoman
Praktis untuk Pelayanan Pastoral,(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 14.
[24]
SK artinya surat kerja
[25]
MS artinya majelis sinode
[26]GSPII (Gereja Sidang
Persekutuan Injili Indonesia), Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga, (Sarangan:
2013), 24.
[27] Ibid, 25.
[28] Dahlenburg, G.D, Apakah
Pendeta Itu?, (Jakarta: BPK.Gunung Mulia 1999), 73.
[29] O. Notohamidjojo, Kreativitas
yang Bertanggung Jawab, (Salatiga: LPIS, IKIP Kristen Satyawacana, Bagian
II, 1973), 386
[30]Tim Penyusun Kamus Pusat pembinaan dan
pengembangan bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,edisi kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 455.
0 komentar:
Posting Komentar