BAB
I
PENDAHULUAN
Dalam
bab ini akan dipaparkan secara sistematis yaitu: latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
kepentingan penelitian, metodologi penelitian, definisi istilah, sistematika
penulisan.
Latar
Belakang Masalah
Misi adalah karya Allah untuk menyelamatkan bangsa-bangsa. Misi merupakan rancangan damai sejahtera dari Allah untuk menyelamatkan dan menyatakan kerajaan-Nya di dunia, yang harus dikerjakan oleh setiap orang percaya lewat pelayanan kepada sesama.[1] Yakob Tomatala menjelaskan bahwa misi adalah karya Allah yang menghimpun bagi diri-Nya suatu umat yang bersekutu dengan Dia, melayani Dia dan menyembah Dia dalam hubungan yang harmonis dan utuh untuk kejayaan Kerajaan Allah.[2] Misi adalah pola, cara dan model kerja yang digunakan oleh Allah dalam rangka menyelamatkan manusia berdosa yang ada di dalam dunia. Mereka yang diselamatkan oleh Allah dihimpun dalam suatu persekutuan dengan tujuan untuk menyembah dan melayani Allah serta menjadi alat anugerah Allah dalam melaksanakan tugas Amanat Agung.
Amanat Agung merupakan
perintah Yesus kepada murid-murid-Nya sebelum Ia terangkat ke sorga. Amanat Agung berbunyi “Karena itu pergilah,
jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak
dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah
kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah,
Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat. 28:19-20). Tugas tersebut diberikan bukan hanya kepada
murid-murid dan para rasul saja melainkan juga kepada semua orang yang percaya
kepada-Nya. Barclay menjelaskan bahwa,
bukan hanya suatu hak khusus orang Kristen menerima iman Kristen, tapi juga
menjadi suatu kewajibannya untuk memberitakannya kepada orang lain.[3] Stephen Tong juga mengatakan demikian, bahwa
setiap orang Kristen harus menjadi saksi, menyebarkan Injil dan hidup berbuah
sehingga orang lain menjadi percaya.[4] Amanat Agung Yesus ini bukan merupakan sebuah
tantangan, melainkan suatu tanggungjawab yang harus dipikul, dan diperuntukkan
bagi semua orang percaya untuk pergi ke seluruh dunia dalam memberitakan Injil
kepada segala makhluk.
Tetapi dalam masa sekarang, penuai sangat sedikit sekali di
dalam pekerjaan Amanat Agung Tuhan Yesus.
Padahal di Indonesia ada begitu banyak suku terabaikan yang masih belum
mendengar Injil, apalagi jika dilihat di seluruh penjuru dunia. Hal ini terjadi karena masih banyak orang
percaya yang belum menanggapi panggilan misi Amanat Agung Tuhan Yesus. Mereka beranggapan bahwa hanya orang-orang
khusus yang terpanggil dalam melakukan Amanat Agung Tuhan Yesus. Tetapi Alkitab membuktikan bahwa semua orang
percaya terpanggil untuk terlibat dalam pelayanan misi Amanat Agung Tuhan
Yesus. Bahkan semua orang yang telah
diperdamaikan dengan Allah melalui Kristus menjadi duta Kristus, bertanggung
jawab untuk kabar pendamaian itu kepada dunia (2 Kor. 5:18-20).[5] Dalam pengertiannya semua orang percaya harus
mendukung pelayanan misi, baik melalui doa, dana bahkan tenaga pekerja yang
akan diutus ke lapangan. Secara khusus,
akan ada yang Tuhan panggil sebagai misionaris/ULB untuk diutus dan
dipersiapkan dalam pekabaran Injil bagi suku yang belum percaya.
Adapun orang yang terpanggil sebagai ULB adalah orang
Kristen yang akan pindah dari tempat asalnya (budaya asal mereka) agar mereka
dapat menginjili orang dari budaya lain yang belum percaya, dengan tujuan utama
supaya mereka bertobat. Thomas Hale
menjelaskan bahwa sebagai ULB secara khusus diutus meninggalkan budaya mereka
sendiri, ke wilayah baru, yang sering kali belum dikenal. Diperlukan bimbingan khusus dalam menjalankan
tugas ini, dan dalam menanggapi hal ini diperlukan panggilan yang jelas dan
pasti bahwa inilah jalan yang ditetapkan Allah untuk mereka yang terpanggil.[6] Dalam bagian ini, akan ada hal-hal yang harus
dipersiapkan sebagai ULB di dalam melayani sebuah suku.
Dalam pengutusan
seorang ULB, Gereja atau Lembaga Misi biasanya mengutus sebuah tim dalam suku
yang ingin dijangkau. Hal ini ditujukan
pada ruang lingkup kecil namun sangat berperan aktif dalam Amanat Agung Tuhan
Yesus, yaitu melalui keluarga-keluarga Kristen khususnya bagi pasangan
suami-isteri. Dalam konteks kekristenan,
suami-isteri dibentuk oleh Allah dengan menciptakan Adam dan kemudian menciptakan
Hawa dari tulang rusuk Adam, dimana ikatan ini diteguhkan oleh Firman Allah
tentang kesatuan laki-laki dan perempuan sebagai pasangan suami-isteri untuk
membentuk sebuah keluarga (Kej 2:18, 21-25).[7] Ikatan yang mempertalikan suami dan isteri
ini disatukan melalui ikatan janji suci di dalam pernikahan. Alkitab menjelaskan
bahwa pernikahan merupakan lembaga pertama yang diciptakan Allah. Allah menyebut lembaga pernikahan sebagai, “sebab
itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan
isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kej. 2:24), demikianlah
mereka bukan lagi dua, melainkan satu.
Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia
(Mar. 10:7-9), artinya bahwa ikatan pernikahan tidak dapat dipecahkan. Mereka bersatu, melekatkan diri satu dengan
yang lain dalam kasih, tidak dapat dipisahkan kecuali oleh maut dan menjadi
bejana pilihan Allah untuk mendirikan sebuah rumah tangga yang memuliakan Allah.[8]
Dasar dari terbentuknya suatu hubungan suami-isteri adalah
Tuhan dan tujuannya membangun sebuah keluarga yang memuliakan Tuhan. Memuliakan Tuhan dalam keluarga dapat dicapai
melalui ketaatan kepada firman-Nya. Taat
kepada Firman Tuhan artinya taat juga kepada Amanat Agung Tuhan Yesus. Maka suami-isteri harus menyatakan kasih
Allah kepada dunia. Pasangan
suami-isteri khususnya pasangan yang terpanggil sebagai ULB harus memiliki
tanggungjawab yang sama dalam pelayanan misi memberitakan Injil atau menjadi
saksi bagi dunia. Pentingnya Amanat
Agung ini bagi pasangan suami-isteri karena Allah telah memanggil dua orang
untuk menjadi satu, disatukan dalam tingkah laku, pikiran, cita-cita dan tujuan[9],
untuk saling mendukung dan menolong
antara satu dengan yang lain dalam mewujudkan Amanat Agung Tuhan Yesus bagi dunia. Selain itu, pasangan suami-isteri menjadi
wakilnya Tuhan dalam meneladani Tuhan Yesus yang sudah
lebih dahulu menjadi saksi dalam menyatakan kasih-Nya untuk dunia.
Dalam Alkitab
Perjanjian Baru dijelaskan bagaimana Allah secara kontekstualisasi menyatakan diri-Nya melalui inkarnasi-Nya sebagai manusia. Inkarnasi Yesus Kristus dalam konteks
budaya Yahudi merupakan puncak perwujudan kontekstualisasi Allah ke dalam
budaya manusia. Dalam inkarnasi-Nya,
manusia dapat melihat Allah (Yoh. 1:14,18).
Ia masuk ke dalam dunia dan menjadi sama seperti manusia, merasakan apa
yang dirasakan manusia, mengalami keadaan dan menjadi bagian dari konteks
budaya manusia. Inkarnasi Yesus dalam
budaya manusia bertujuan untuk menyatakan Allah kepada dunia (Yoh. 1:18). Dengan demikian inkarnasi Yesus memiliki
tujuan misional yang di
dalamnya membuktikan bahwa Allah Yang Maha Sempurna menyatakan kasih-Nya yang
tak terbayangkan. Di sini terlihat bahwa
Kristus, dalam inkarnasi-Nya mengambil seluruh aspek budaya manusia dan
menggunakannya sebagai sarana misi untuk menyatakan maksud Allah. Selain itu, Tuhan Yesus
juga menggunakan metode pendekatan yang kontekstual dalam menjawab kebutuhan
manusia di sekitar-Nya melalui perumpamaan.
Tuhan Yesus menggunakan terminologi pertanian (penabur, bibit, penuai,
ladang) untuk menjelaskan kebenaran Allah kepada para petani. Ketika Ia berhadapan dengan nelayan, Ia
menggunakan bahasa yang dimengerti oleh para nelayan (pukat/jala, ikan,
perahu). Dari semua yang Tuhan Yesus
lakukan dalam dunia ini membuktikan bahwa inkarnasi mengacu kepada pernyataan
diri Allah yang dikenal dalam pola budaya sehingga manusia dapat mengerti,
menerima dan percaya kepada-Nya.[10]
Dalam Yohanes 20:21b Tuhan Yesus menyatakan “Seperti Bapa
mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu”. Pernyataan ini membuktikan bahwa Tuhan Yesus adalah seorang misionaris
yang misioner (Utusan yang mengutus). Pernyataan
itu juga memberikan teladan bahwa Tuhan Yesus menginginkan tugas pemberitaan
Injil terus dilakukan secara berkesinambungan.[11]
Oleh sebab
itu, kesaksian Alkitab tentang pernyataan kasih Yesus Kristus untuk dunia dalam
bentuk kontekstual, menjadi teladan bagi setiap orang percaya khususnya bagi
pasangan suami-isteri yang terpanggil sebagai ULB untuk melakukan pelayanan misi secara
kontekstual. Seperti yang penulis paparkan
sebelumnya, harus ada hal-hal yang dipersiapkan sebelum seorang ULB diutus untuk melayani di sebuah suku
yang belum percaya.
Salah satu
model misi yang paling tepat dilakukan dalam pemberitaan Injil yaitu pelayanan
secara kontekstual. Pelayanan misi
secara kontekstual merupakan cara yang efektif dalam pelayanan misi.[12] Pelayanan ini berbicara tentang kontekstualisasi. Secara umum, semua orang yang percaya dapat
melakukan pendekatan secara kontekstualisasi hanya dengan menyesuaikan diri
dengan adat setempat dimana mereka berada.
Tujuannya supaya di terima di tengah-tengah masyarakat yang belum
percaya, dan dapat mengkomunikasikan Injil sesuai dengan bahasa dan budaya daerah
tersebut. Namun, bagi pasangan yang
diutus secara khusus sebagai ULB harus memahami lebih dalam lagi apa itu pelayanan misi
kontekstual. Kontekstualisasi adalah konsep usaha memahami konteks kehidupan
manusia secara luas dalam dimensi budaya, agama, sosial, ekonomi, dan politik
dalam hubungannya dengan situasi menyeluruh dengan tujuan agar pemberitaan
Injil dapat dilakukan dengan baik dan dipahami secara tepat oleh setiap orang
yang hidup dalam konteks tersebut.[13] Budiman R. L
mengungkapkan bahwa :
Kontekstualisasi merupakan satu cara menyampaikan dan
meneladani Injil supaya kita dapat memenangkan sebanyak mungkin orang. Kita menyesuaikan diri dengan adat setempat
supaya Injil menjadi relevan. Kita juga
hidup di bawah hukum Kristus supaya Injil yang disampaikan itu tetap murni.[14]
Adapun menurut
penulis, bahwa pelayanan misi kontekstualisasi adalah pemberitaan Injil yang disampaikan kepada orang lain
untuk dapat dimengerti sesuai situasi pendengar, dimana pemberita Injil membawa
teks Alkitab dan mengkomunikasikannya sesuai dengan konteks kehidupan manusia
secara luas, berarti pemberita Injil harus belajar tentang budaya sasarannya,
mempelajari bahasa yang dipakai masyarakat, mendengar dan terlibat aktif dalam
kegiatan sehari-hari masyarakat, sehingga Injil yang disampaikan dapat
dimengerti oleh orang yang belum percaya sesuai dengan pandangan dunia khusus
mereka.
Selain harus mengetahui arti pelayanan
misi kontekstual, pasangan suami-isteri juga harus memahami cara
berkontekstualisasi atau aksi di dalam pelayanan misi kontekstual, agar ketika
pasangan ini diutus untuk melayani suku yang belum percaya, mereka dapat
diterima ditengah-tengah masyarakat tersebut.
Beberapa cara/aksi dalam pelayanan misi kontekstual yang perlu
diperhatikan yaitu pertama sebelum diutus, ketahui dahulu suku, budaya dan
bahasa yang ingin dilayani atau suku yang ingin dijangkau. Artinya, pemberita Injil harus mempelajari
adat-istiadat budaya setempat dan juga belajar bahasa suku yang dilayani. Dalam bagian ini budaya juga berperan dalam
mengkomunikasikan Injil. Karena
itu, supaya Injil dapat dikomunikasikan
secara jelas bagi penerima Injil, maka pemberita harus bisa mempelajari,
memahami konteks lawan bicara atau tempat di mana kata atau pesan tersebut
disampaikan.[15] Kedua, mempersiapkan pendekatan
(platfom/jembatan) sebagai pelayanan akses atau sebagai identitas diri supaya
di terima di tengah-tengah suku yang dilayani, contohnya melalui bisnis sapi
perah, mendirikan kursus komputer, bimbingan belajar, kursus menjahit, sesuai
dengan keterampilan si penginjil.
Ketiga, pemberita Injil harus memikirkan dan mempertimbangkan model atau
pola serta metode dalam pelayanan misi kontekstual. Dalam bagian ini, salah satu metode yang
penulis sudah pelajari, yaitu metode DMM/Gerakan Kelompok Pemuridan (GKP). Metode GKP adalah sebuah pembelajaran akan
kebenaran dengan cara memberi tujuh pertanyaan untuk orang damai (orang yang
belum percaya terbuka terhadap Injil) agar meneliti sendiri tentang kebenaran.[16] Hal-hal tersebut diatas wajib dimengerti dan
dipahami oleh seorang ULB dalam melakukan pelayanan misi kontekstualisasi.
Jadi dari uraian tersebut, penting sekali bagi pasangan
suami-isteri memahami apa itu pelayanan misi kontekstual karena mereka akan
diutus oleh Tuhan di tengah-tengah keluarga atau orang-orang yang belum percaya
dan belum mendengar Injil. Mengapa harus
secara kontekstual karena pelayanan misi kontekstual pertama, lebih efektif,
efesien dan produktif dalam pekabaran Injil.
Kedua, melalui pelayanan misi kontekstual pemberitaan
Injil semakin lebih cocok dan lebih relevan.
Artinya, pemberitaan Injil semakin mendarat dengan benar di dalam
konteks sebagai sasaran, objek dan penerima Injil. Konteks dalam hal ini yaitu budaya menjadi
semakin terbuka terhadap pemberitaan Injil.
Namun yang perlu suami-isteri ketahui juga bahwa dalam pelayanan misi
kontekstual, pemberitaan Injil tetap dalam kemurnian sesuai dengan Firman Allah
dan Hukum Kristus. Artinya, Firman Allah
tetap menjadi otoritas tertinggi di dalam melaksanakan pelayanan
kontekstualisasi. Kontekstualisasi harus
tunduk kepada otoritas atau kedaulatan Hukum Allah dan Hukum Kristus.[17] Maka, pemahaman tentang pelayanan misi
kontekstual sangat mempengaruhi berjalan baik dan lancarnya pelayanan misi
Amanat Agung yang dikerjakan orang percaya khususnya bagi pasangan suami-isteri
yang terpanggil dalam pelayanan misi kontekstual untuk suku-suku yang belum
percaya.
Yang menjadi persoalannya bahwa pelayanan misi untuk suku-suku
menjadi sesuatu
yang asing saat ini bagi pasangan suami-isteri bahkan bagi setiap orang yang
percaya. Hal ini diindikasikan karena
pada masa kini banyak sekali orang-orang yang sudah percaya hanya fokus kepada
hal-hal yang didalam (internal). Banyak
orang tidak memahami bahwa pelayanan misi Allah juga bersifat sentrivugal (dari
dalam dibawa keluar) artinya orang Kristen dibawa keluar bagi orang-orang yang
belum percaya menjadi berkat/saksi dalam pemberitaan Injil Kristus. Sehingga semua orang percaya tetap melakukan
gerakan misioner ke seluruh dunia seperti yang diamanatkan oleh Tuhan
Yesus. Jelas bahwa Amanat Agung Tuhan Yesus adalah tugas panggilan kekristenan setiap orang
percaya. Setiap orang percaya harus
menjadi saksi, garam dan terang dunia sehingga dapat membawa oranglain menjadi
percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat mereka.
Berdasarkan pemaparan penulis di atas, penting sekali
bagi setiap orang percaya memahami bagaimana pelayanan misi lintas budaya
secara kontekstualisasi, apalagi bagi pasangan suami-isteri yang terpanggil
khusus dalam pelayanan ini. Karena
sesuai faktanya, setiap orang percaya tinggal dan hidup di tengah-tengah
masyarakat yang belum mengenal kebenaran.
Melalui pemahaman pelayanan misi kontekstual, orang percaya yang hidup
di tengah-tengah orang yang belum percaya dapat lebih mudah melakukan
pendekatan, dengan menyesuaikan diri secara budaya dan bahasa. Begitu pula dengan pasangan suami-isteri yang
terpanggil khusus dalam pelayanan misi kontekstual, harus lebih sungguh
memahami tentang pelayanan ini. Karena
untuk membawa Injil ke suatu suku, pasangan suami-isteri harus bisa
menyesuaikan diri dengan suku yang dilayani atau mempelajari suku, budaya dan
bahasa yang ingin dilayani. Selain itu,
pasangan suami-isteri juga harus mempersiapkan terlebih dahulu pelayanan akses
(platfom/jembatan) dan metode apa yang tepat dalam pelayanan bagi suku
tersebut.
Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis
menyoroti bahwa sebagai pasangan
suami-isteri yang terpanggil secara khusus dalam pelayanan misi kontekstual harus
memahami betul apa dan bagaimana pelayanan misi kontekstual. Berdasarkan hasil pengamatan penulis di
lapangan saat melayani di beberapa tempat dan lembaga misi, ada pasangan
suami-isteri yang terpanggil dalam pelayanan misi kontekstual begitu bersemangat
dalam pelayanan tersebut, memiliki hati mengasihi jiwa-jiwa yang terhilang dan
rindu melayani jiwa-jiwa yang belum percaya.
Faktanya, pelayanan misi kontekstual yang dilakukan oleh pasangan
suami-isteri ini tidak berjalan lancar, disebabkan karena mereka tidak memahami
panggilan mereka dalam pelayanan misi kontekstual itu seperti apa. Penulis melihat, bahwa hal ini terjadi karena
diindikasikan dalam beberapa hal yaitu : ada pasangan suami-isteri paham bahwa
pelayanan misi kontekstual artinya berkontekstualisasi. Mereka sudah mengetahui budaya setempat atau
suku yang akan mereka layani dan juga sudah memiliki platfom yang dipakai
sebagai alat dalam pemberitaan Injil agar di terima dalam suku itu, namun tidak
memahami metode apa selanjutnya yang harus digunakan dalam pelayanan tersebut
untuk membentuk suatu kelompok pemuridan, sehingga pelayanan misi kontekstual
tidak secara tuntas berjalan lancar.
Adapula, pasangan suami-isteri yang terpanggil dalam pelayanan misi
kontekstual, salah satunya memahami panggilannya dalam pelayanan misi
kontekstual namun salah satu tidak memahami pelayanan misi kontekstual sehingga
pelayanan misi kontekstual tidak berjalan baik dilaksanakan, karena terjadi
perbedaan faham yang membuat salah satu tidak mendukung pasangannya di dalam
menjalankan pelayanan misi kontekstual.
Bahkan ada pasangan suami-isteri yang hanya sekedar mau diutus saja tanpa
mempersiapkan lebih dahulu hal-hal yang wajib ada di dalam pelayanan misi
kontekstual, sehingga pasangan ini kesusahan di dalam menyesuaikan diri dengan
budaya masyarakat yang dilayani. Melihat
permasalahan tersebut, penulis menyimpulkan bahwa pasangan yang terpanggil
dalam pelayanan misi kontekstual ada yang menanggapi panggilan mereka dengan sungguh-sungguh
dan ada yang tidak menanggapi panggilan tersebut sehingga ada beberapa pasangan
yang belum memiliki pemahaman yang baik tentang apa itu pelayanan misi
kontekstual.
Dari indikasi-indikasi
yang terjadi melalui data hasil pengamatan penulis sendiri di lapangan, maka
penulis terdorong dan berkeinginan untuk menulis skripsi yang berjudul
“Pengaruh Pemahaman Misi Kontekstual Oleh Pasangan Suami-Isteri, Terhadap
Pangilan Misi Pasangan Suami-Isteri.”
Identifikasi
Masalah
Mengacu pada topik
penelitian ini, serta merujuk kepada latar belakang masalah sebagaimana
dipaparkan di atas, maka peneliti mengidentifikasi beberapa masalah sebagai
berikut:
1.
Orang yang terpanggil dalam pelayanan
misi kontekstual harus memiliki pemahaman yang baik tentang pelayanan misi
kontekstual. Lalu pertanyaannya, apa pengertian dari pelayanan misi
kontekstual?
2.
Di lapangan, penulis menemukan ada
pasangan suami-isteri yang terpanggil dalam pelayanan misi kontekstual, namun
tidak memahami dengan sungguh panggilan mereka dalam pelayanan tersebut.
Pertanyaannya, sejauh mana pemahaman pasangan suami-isteri tentang panggilan
pelayanan misi kontekstual?
3.
Pemahaman suami dan isteri yang baik
dalam memahami panggilan misi kontekstual, akan mempengaruhi pelayanan misi
kontekstual yang dikerjakan berjalan secara baik. Bagaimana pengaruh pemahaman misi kontekstual
oleh suami-isteri terhadap panggilan pelayanan misi pasangan suami-isteri?
4.
Seorang ULB/misionaris atau orang yang
berkecimpung di dalam pelayanan misi khususnya misi kontekstual perlu memahami
tentang pelayanan misi kontekstual secara sungguh-sungguh, supaya ketika diutus
dalam ladang pelayanan, pelayanan misi kontekstual yang dikerjakan berjalan
lancar. Bagaimana implikasi judul
skripsi ini bagi para pelayan misi masa kini?
Pembatasan Masalah
Sesuai
dengan identifikasi masalah diatas, maka penulis membatasi beberapa poin yang
dianggap penting dalam penelitian skripsi ini, yaitu nomor 1, 2 dan 3:
1.
Orang yang terpanggil dalam pelayanan
misi kontekstual harus memiliki pemahaman yang baik tentang pelayanan misi
kontekstual. Lalu pertanyaannya, apa pengertian dari pelayanan misi
kontekstual?
2.
Di lapangan, penulis menemukan ada
pasangan suami-isteri yang terpanggil dalam pelayanan misi kontekstual, namun
tidak memahami dengan sungguh panggilan pelayanan tersebut. Pertanyaannya, sejauh mana pemahaman pasangan
suami-isteri tentang panggilan pelayanan misi kontekstual?
3.
Pemahaman suami dan isteri yang baik
dalam memahami panggilan misi kontekstual, akan mempengaruhi dan menjadikan
pelayanan misi kontekstual berjalan secara baik. Bagaimana pengaruh pemahaman misi kontekstual
oleh suami-isteri terhadap panggilan pelayanan misi pasangan suami-isteri?
Rumusan Masalah
Berdasarkan
identifikasi masalah dan batasan masalah tersebut di atas, maka penulis
menetapkan rumusan masalah yang dinyatakan dalam bentuk pertanyaan sebagai
berikut:
1.
Apa pengertian dari pelayanan misi
kontekstual?
2.
Sejauh mana pemahaman pasangan suami-isteri
tentang panggilan pelayanan misi kontekstual?
3.
Bagaimana pengaruh pemahaman misi
kontekstual oleh suami-isteri terhadap panggilan pelayanan misi pasangan
suami-isteri?
Tujuan Penelitian
Adapun
tujuan penulisan berdasarkan rumusan masalah diatas, maka peniliti memiliki
tujuan sebagai berikut:
1.
Untuk menjelaskan sejauh mana pasangan
suami dan isteri memahami panggilan pelayanan misi kontekstual.
2.
Untuk menjelaskan tentang pengaruh
pemahaman pasangan suami dan isteri tentang panggilan pelayanan misi
kontekstual.
3.
Untuk menjelaskan bagaimana pengaruh
pemahaman pelayanan misi kontekstual oleh pasangan suami-isteri terhadap
panggilan pelayanan misi pasangan suami-isteri, agar dapat diimplementasikan
dalam pelayanan misi kontekstual.
Kepentingan Penelitian
Melalui penulisan hasil
penelitian skripsi ini dapat memberi manfaat sebagai berikut:
Manfaat Teoritis
Manfaat
secara teoritis, hasil penulisan ini akan membawa kepentingan yang signifikan,
yaitu:
1.
Melengkapi pemahaman dan pengetahuan
khususnya bagi pasangan suami-isteri ULB dan bagi para pelayan misi mengenai
pengaruh pemahaman misi kontekstual oleh pasangan suami-isteri terhadap
panggilan pelayanan misi pasangan suami-isteri.
2.
Skripsi ini dapat dijadikan sumbangsih
yang berarti bagi Pendidikan Teologia.
Manfaat Praktis
1.
Bagi pasangan suami-isteri yang
berkecimpung di dalam pelayanan misi kontekstual
Hasil
dari penelitian ini memberikan wawasan dan pemahaman tentang panggilan mereka
dalam pelayanan misi kontekstual untuk mengemban pelayanan misi kontekstual.
2. Bagi
para Hamba Tuhan dan pelayan misi
Hasil
dari penelitian ini dapat menambah wawasan, pemahaman serta kesiapan para
pelayan misi sekarang untuk mempersiapkan diri dalam ladang pelayanan.
3.
Bagi Penulis
Hasil dari
penelitian ini dapat menambah wawasan, pemahaman dan pengetahuan penulis serta
untuk mempersiapkan penulis kedepan dalam kesiapan di ladang pelayanan.
Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian ialah suatu
pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan yang terdapat dalam
penelitian. Ditinjau dari sudut
filsafat, metodologi penelitian merupakan epistemologi penelitian artinya
menyangkut bagaimana kita mengadakan penelitian.[18]
Metode Penulisan
Dalam
penelitian yang akan dilakukan penulis menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif adalah suatu cara berusaha
memahami dalam situasi tertentu menurut perspektif peniliti sendiri, di dalam
mengumpulkan data. [19]
Metode Pengumpulan Data
Untuk
melengkapi data dalam penelitian yang akan dilaksanakan, maka penulis melakukan
observasi dan wawancara di dalam mengumpulkan data. Penulis akan mewawancarai
pasangan suami-isteri ULB yang sedang berada dalam ladang misi khususnya yang
terpanggil dalam pelayanan misi kontesktual untuk mendapatkan data mengenai
bagaimana pengaruh pemahaman misi kontekstual oleh pasangan suami-isteri,
terhadap panggilan misi pasangan suami-isteri.
Maka penulis mulai melakukan observasi.
Observasi ialah
pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti,
observasi menjadi salah satu teknik pengumpulan data. Dalam menggunakan teknik
observasi yang terpenting ialah mengandalkan pengamatan dan ingatan peneliti.[20]
Menurut Husaini
wawancara adalah “tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara
langsung.” Dimana pewawancara disebut
interviuwer, sedangkan orang yang diwawancarai disebut interviewees. Wawancara ini
berhubungan dengan penulis dan klien yang akan diwawancarai tujuannya dalam
mengumpulkan data. [21]
Definisi Istilah
Sebelum
jauh melihat pembahasan berikutnya, perlu melihat definisi istilah untuk
mengarahkan tujuan penjelasan dalam penulisan skripsi ini, sebagai berikut:
Misi
Kontekstual
Misi
Kontekstual adalah pemberitaan Injil yang disampaikan kepada orang lain untuk
dapat dimengerti sesuai situasi pendengar.
Maksudnya yaitu, pemberita Injil membawa teks Alkitab dan mengkomunikasikannya
sesuai dengan konteks kehidupan manusia secara luas dalam dimensi budaya,
agama, sosial, ekonomi, dan politik dalam hubungannya dengan situasi menyeluruh
dengan tujuan agar pemberitaan Injil dapat dilakukan dengan baik dan dipahami
secara tepat oleh setiap orang yang hidup dalam konteks tersebut.[22]
Sistematika
Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis
membagi pokok-pokok pembahasan kedalam lima bab. Adapun pembagian dari masing-masing bab adalah
sebagai berikut:
Bab pertama berisi pembahasan
tentang pendahuluan yang berisi: latar belakang masalah, identifikasi masalah,
batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kepentingan penelitian,
metode penelitian, definisi istilah, sistematika penulisan.
Bab kedua, menguraikan kajian teori
yang berisi penjelasan tentang beberapa teori mengenai pengaruh pemahaman misi
kontekstual oleh pasangan suami-isteri, terhadap pangilan misi pasangan
suami-isteri.
Bab ketiga, menguraikan tentang
metode penelitian yang terdiri dari tujuan dilaksanakannya penelitian, tempat
dan waktu penelitian, metode penelitian, teknik pengumpulan data dan analisis
data.
Bab keempat, menguraikan hasil
penelitian dan pembahasan tentang pengaruh pemahaman misi kontekstual oleh
pasangan suami-isteri, terhadap pangilan misi pasangan suami-isteri.
Bab kelima, penutup yang berisi
kesimpulan, saran dan implikasi yang dapat bermanfaat bagi pembaca maupun bagi
penulis khususnya.
[1]Murray. W.
Downey, Cara-cara Memenangkan Jiwa,
(Bandung: Kalam Hidup, 1957), 5.
[2]Yakob Tomatala, Penginjilan
Masa Kini, Jilid 2, (Malang: Gandum Mas, 1998), 27.
[3]William
Barclay, The Letters To Timothy. Titus
and Philemon, (America: WJK. Westminster, 2003), 158.
[4]Stephen Tong, Mengetahui
Kehendak Allah, (Surabaya: Momentum, 2003), 160.
[5]W. Booth, The
General’s Letters, (London:
Salvation, 1890), 4-5.
[6]Thomas Hale, On
Being A Missionary, (Pasadena:
William Carey Library, 1993), 16.
[7]Stephen Tong, Keluarga
Bahagia, (Surabaya: Momentum,
2009), 11-13.
[8]Tafsiran
(Alkitab.sabda).
[9]J. Verkuyl, Etika
Kristen, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen
Gunung Mulia, [t.th]), 54.
[10]Yakob Tomatala, Teologi
Kontekstualisasi, (Malang: Gandum
Mas, 1993), 24.
[11]Young G. Chai, Penggembalaan
Bersama dengan Orang Awam, (Jakarta:
Gloria Cipta Grafika, 2005), 150.
[12]Dr. Jonar T.H.
Situmorang, Strategi Misi Paulus: Mengulas Kontekstualisasi Paulus Dalam Pelayanan, (Yogyakarta: PBMR ANDI, 2020), 5.
[13]Andre Yonathan
M.Th, Diktat Teologi
Kontekstualisasi, (Sidoarjo: [t.p],
2018), 11-12.
[14]Budiman R. L, Pelayanan
Lintas Budaya dan Kontekstualisasi, [t.t]: Oleh Pengarang, 1991,
9.
[15]David J.
Hesselgrave, Comunicating Christ (Cross Culturally): Mengkomunikasikan Kristus
Secara Lintas Budaya, (Malang :
SAAT, [t.th]).
[16]Buku Pembelajaran
Penulis dari Yayasan Tibala, Malang-Jawa
Timur.
[17]Tomatala, Kontekstualisasi, 12.
[18]Husaini Usman
dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, ( Jakarta : Bumi Aksara, 1996), 42.
[22]Andre Yonathan, Diktat
Teologi Kontekstualisasi, (Sidoarjo, 2018), 11-12.
0 komentar:
Posting Komentar