Januari 02, 2022
0

 

 


 

 

                                                                            BAB I

PENDAHULUAN

 

Dalam bab ini akan dipaparkan secara sistematis yaitu: latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kepentingan penelitian, metodologi penelitian, definisi istilah, sistematika penulisan.

 

Latar Belakang Masalah

Misi adalah karya Allah untuk menyelamatkan bangsa-bangsa.  Misi merupakan rancangan damai sejahtera dari Allah untuk menyelamatkan dan menyatakan kerajaan-Nya di dunia, yang harus dikerjakan oleh setiap orang percaya lewat pelayanan kepada sesama.[1]  Yakob Tomatala menjelaskan bahwa misi adalah karya Allah yang menghimpun bagi diri-Nya suatu umat yang bersekutu dengan Dia, melayani Dia dan menyembah Dia dalam hubungan yang harmonis dan utuh untuk kejayaan Kerajaan Allah.[2]  Misi adalah pola, cara dan model kerja yang digunakan oleh Allah dalam rangka menyelamatkan manusia berdosa yang ada di dalam dunia.  Mereka yang diselamatkan oleh Allah dihimpun dalam suatu persekutuan dengan tujuan untuk menyembah dan melayani Allah serta menjadi alat anugerah Allah dalam melaksanakan tugas Amanat Agung.

Amanat Agung merupakan perintah Yesus kepada murid-murid-Nya sebelum Ia terangkat ke sorga.  Amanat Agung berbunyi “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah kuperintahkan kepadamu.  Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat. 28:19-20).  Tugas tersebut diberikan bukan hanya kepada murid-murid dan para rasul saja melainkan juga kepada semua orang yang percaya kepada-Nya.  Barclay menjelaskan bahwa, bukan hanya suatu hak khusus orang Kristen menerima iman Kristen, tapi juga menjadi suatu kewajibannya untuk memberitakannya kepada orang lain.[3]  Stephen Tong juga mengatakan demikian, bahwa setiap orang Kristen harus menjadi saksi, menyebarkan Injil dan hidup berbuah sehingga orang lain menjadi percaya.[4]  Amanat Agung Yesus ini bukan merupakan sebuah tantangan, melainkan suatu tanggungjawab yang harus dipikul, dan diperuntukkan bagi semua orang percaya untuk pergi ke seluruh dunia dalam memberitakan Injil kepada segala makhluk. 

Tetapi dalam masa sekarang, penuai sangat sedikit sekali di dalam pekerjaan Amanat Agung Tuhan Yesus.  Padahal di Indonesia ada begitu banyak suku terabaikan yang masih belum mendengar Injil, apalagi jika dilihat di seluruh penjuru dunia.  Hal ini terjadi karena masih banyak orang percaya yang belum menanggapi panggilan misi Amanat Agung Tuhan Yesus.  Mereka beranggapan bahwa hanya orang-orang khusus yang terpanggil dalam melakukan Amanat Agung Tuhan Yesus.  Tetapi Alkitab membuktikan bahwa semua orang percaya terpanggil untuk terlibat dalam pelayanan misi Amanat Agung Tuhan Yesus.  Bahkan semua orang yang telah diperdamaikan dengan Allah melalui Kristus menjadi duta Kristus, bertanggung jawab untuk kabar pendamaian itu kepada dunia (2 Kor. 5:18-20).[5]  Dalam pengertiannya semua orang percaya harus mendukung pelayanan misi, baik melalui doa, dana bahkan tenaga pekerja yang akan diutus ke lapangan.  Secara khusus, akan ada yang Tuhan panggil sebagai misionaris/ULB untuk diutus dan dipersiapkan dalam pekabaran Injil bagi suku yang belum percaya.

Adapun orang yang terpanggil sebagai ULB adalah orang Kristen yang akan pindah dari tempat asalnya (budaya asal mereka) agar mereka dapat menginjili orang dari budaya lain yang belum percaya, dengan tujuan utama supaya mereka bertobat.  Thomas Hale menjelaskan bahwa sebagai ULB secara khusus diutus meninggalkan budaya mereka sendiri, ke wilayah baru, yang sering kali belum dikenal.  Diperlukan bimbingan khusus dalam menjalankan tugas ini, dan dalam menanggapi hal ini diperlukan panggilan yang jelas dan pasti bahwa inilah jalan yang ditetapkan Allah untuk mereka yang terpanggil.[6]  Dalam bagian ini, akan ada hal-hal yang harus dipersiapkan sebagai ULB di dalam melayani sebuah suku.

 Dalam pengutusan seorang ULB, Gereja atau Lembaga Misi biasanya mengutus sebuah tim dalam suku yang ingin dijangkau.  Hal ini ditujukan pada ruang lingkup kecil namun sangat berperan aktif dalam Amanat Agung Tuhan Yesus, yaitu melalui keluarga-keluarga Kristen khususnya bagi pasangan suami-isteri.  Dalam konteks kekristenan, suami-isteri dibentuk oleh Allah dengan menciptakan Adam dan kemudian menciptakan Hawa dari tulang rusuk Adam, dimana ikatan ini diteguhkan oleh Firman Allah tentang kesatuan laki-laki dan perempuan sebagai pasangan suami-isteri untuk membentuk sebuah keluarga (Kej 2:18, 21-25).[7]  Ikatan yang mempertalikan suami dan isteri ini disatukan melalui ikatan janji suci di dalam pernikahan.  Alkitab menjelaskan bahwa pernikahan merupakan lembaga pertama yang diciptakan Allah.  Allah menyebut lembaga pernikahan sebagai, “sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kej. 2:24), demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu.  Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia (Mar. 10:7-9), artinya bahwa ikatan pernikahan tidak dapat dipecahkan.  Mereka bersatu, melekatkan diri satu dengan yang lain dalam kasih, tidak dapat dipisahkan kecuali oleh maut dan menjadi bejana pilihan Allah untuk mendirikan sebuah rumah tangga yang memuliakan Allah.[8] 

Dasar dari terbentuknya suatu hubungan suami-isteri adalah Tuhan dan tujuannya membangun sebuah keluarga yang memuliakan Tuhan.  Memuliakan Tuhan dalam keluarga dapat dicapai melalui ketaatan kepada firman-Nya.  Taat kepada Firman Tuhan artinya taat juga kepada Amanat Agung Tuhan Yesus.  Maka suami-isteri harus menyatakan kasih Allah kepada dunia.  Pasangan suami-isteri khususnya pasangan yang terpanggil sebagai ULB harus memiliki tanggungjawab yang sama dalam pelayanan misi memberitakan Injil atau menjadi saksi bagi dunia.  Pentingnya Amanat Agung ini bagi pasangan suami-isteri karena Allah telah memanggil dua orang untuk menjadi satu, disatukan dalam tingkah laku, pikiran, cita-cita dan tujuan[9], untuk saling mendukung dan menolong antara satu dengan yang lain dalam mewujudkan Amanat Agung Tuhan Yesus bagi dunia.  Selain itu, pasangan suami-isteri menjadi wakilnya Tuhan dalam meneladani Tuhan Yesus yang sudah lebih dahulu menjadi saksi dalam menyatakan kasih-Nya untuk dunia.

Dalam Alkitab Perjanjian Baru dijelaskan bagaimana Allah secara kontekstualisasi menyatakan diri-Nya melalui inkarnasi-Nya sebagai manusia.  Inkarnasi Yesus Kristus dalam konteks budaya Yahudi merupakan puncak perwujudan kontekstualisasi Allah ke dalam budaya manusia.  Dalam inkarnasi-Nya, manusia dapat melihat Allah (Yoh. 1:14,18).  Ia masuk ke dalam dunia dan menjadi sama seperti manusia, merasakan apa yang dirasakan manusia, mengalami keadaan dan menjadi bagian dari konteks budaya manusia.  Inkarnasi Yesus dalam budaya manusia bertujuan untuk menyatakan Allah kepada dunia (Yoh. 1:18).  Dengan demikian inkarnasi Yesus memiliki tujuan misional yang di dalamnya membuktikan bahwa Allah Yang Maha Sempurna menyatakan kasih-Nya yang tak terbayangkan.  Di sini terlihat bahwa Kristus, dalam inkarnasi-Nya mengambil seluruh aspek budaya manusia dan menggunakannya sebagai sarana misi untuk menyatakan maksud Allah.  Selain itu, Tuhan Yesus juga menggunakan metode pendekatan yang kontekstual dalam menjawab kebutuhan manusia di sekitar-Nya melalui perumpamaan.  Tuhan Yesus menggunakan terminologi pertanian (penabur, bibit, penuai, ladang) untuk menjelaskan kebenaran Allah kepada para petani.  Ketika Ia berhadapan dengan nelayan, Ia menggunakan bahasa yang dimengerti oleh para nelayan (pukat/jala, ikan, perahu).  Dari semua yang Tuhan Yesus lakukan dalam dunia ini membuktikan bahwa inkarnasi mengacu kepada pernyataan diri Allah yang dikenal dalam pola budaya sehingga manusia dapat mengerti, menerima dan percaya kepada-Nya.[10]

Dalam Yohanes 20:21b Tuhan Yesus menyatakan “Seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu”.  Pernyataan ini membuktikan bahwa Tuhan Yesus adalah seorang misionaris yang misioner (Utusan yang mengutus).  Pernyataan itu juga memberikan teladan bahwa Tuhan Yesus menginginkan tugas pemberitaan Injil terus dilakukan secara berkesinambungan.[11] Oleh sebab itu, kesaksian Alkitab tentang pernyataan kasih Yesus Kristus untuk dunia dalam bentuk kontekstual, menjadi teladan bagi setiap orang percaya khususnya bagi pasangan suami-isteri yang terpanggil sebagai ULB untuk melakukan pelayanan misi secara kontekstual.  Seperti yang penulis paparkan sebelumnya, harus ada hal-hal yang dipersiapkan sebelum seorang ULB diutus untuk melayani di sebuah suku yang belum percaya. 

Salah satu model misi yang paling tepat dilakukan dalam pemberitaan Injil yaitu pelayanan secara kontekstual.  Pelayanan misi secara kontekstual merupakan cara yang efektif dalam pelayanan misi.[12]  Pelayanan ini berbicara tentang kontekstualisasi.  Secara umum, semua orang yang percaya dapat melakukan pendekatan secara kontekstualisasi hanya dengan menyesuaikan diri dengan adat setempat dimana mereka berada.  Tujuannya supaya di terima di tengah-tengah masyarakat yang belum percaya, dan dapat mengkomunikasikan Injil sesuai dengan bahasa dan budaya daerah tersebut.  Namun, bagi pasangan yang diutus secara khusus sebagai ULB harus memahami lebih dalam lagi apa itu pelayanan misi kontekstual.  Kontekstualisasi adalah konsep usaha memahami konteks  kehidupan manusia secara luas dalam dimensi budaya, agama, sosial, ekonomi, dan politik dalam hubungannya dengan situasi menyeluruh dengan tujuan agar pemberitaan Injil dapat dilakukan dengan baik dan dipahami secara tepat oleh setiap orang yang hidup dalam konteks tersebut.[13]  Budiman R. L mengungkapkan bahwa :

Kontekstualisasi merupakan satu cara menyampaikan dan meneladani Injil supaya kita dapat memenangkan sebanyak mungkin orang.  Kita menyesuaikan diri dengan adat setempat supaya Injil menjadi relevan.  Kita juga hidup di bawah hukum Kristus supaya Injil yang disampaikan itu tetap murni.[14]

 

Adapun menurut penulis, bahwa pelayanan misi kontekstualisasi adalah pemberitaan Injil yang disampaikan kepada orang lain untuk dapat dimengerti sesuai situasi pendengar, dimana pemberita Injil membawa teks Alkitab dan mengkomunikasikannya sesuai dengan konteks kehidupan manusia secara luas, berarti pemberita Injil harus belajar tentang budaya sasarannya, mempelajari bahasa yang dipakai masyarakat, mendengar dan terlibat aktif dalam kegiatan sehari-hari masyarakat, sehingga Injil yang disampaikan dapat dimengerti oleh orang yang belum percaya sesuai dengan pandangan dunia khusus mereka. 

Selain harus mengetahui arti pelayanan misi kontekstual, pasangan suami-isteri juga harus memahami cara berkontekstualisasi atau aksi di dalam pelayanan misi kontekstual, agar ketika pasangan ini diutus untuk melayani suku yang belum percaya, mereka dapat diterima ditengah-tengah masyarakat tersebut.  Beberapa cara/aksi dalam pelayanan misi kontekstual yang perlu diperhatikan yaitu pertama sebelum diutus, ketahui dahulu suku, budaya dan bahasa yang ingin dilayani atau suku yang ingin dijangkau.  Artinya, pemberita Injil harus mempelajari adat-istiadat budaya setempat dan juga belajar bahasa suku yang dilayani.  Dalam bagian ini budaya juga berperan dalam mengkomunikasikan Injil.  Karena itu,  supaya Injil dapat dikomunikasikan secara jelas bagi penerima Injil, maka pemberita harus bisa mempelajari, memahami konteks lawan bicara atau tempat di mana kata atau pesan tersebut disampaikan.[15]  Kedua, mempersiapkan pendekatan (platfom/jembatan) sebagai pelayanan akses atau sebagai identitas diri supaya di terima di tengah-tengah suku yang dilayani, contohnya melalui bisnis sapi perah, mendirikan kursus komputer, bimbingan belajar, kursus menjahit, sesuai dengan keterampilan si penginjil.  Ketiga, pemberita Injil harus memikirkan dan mempertimbangkan model atau pola serta metode dalam pelayanan misi kontekstual.  Dalam bagian ini, salah satu metode yang penulis sudah pelajari, yaitu metode DMM/Gerakan Kelompok Pemuridan (GKP).  Metode GKP adalah sebuah pembelajaran akan kebenaran dengan cara memberi tujuh pertanyaan untuk orang damai (orang yang belum percaya terbuka terhadap Injil) agar meneliti sendiri tentang kebenaran.[16]  Hal-hal tersebut diatas wajib dimengerti dan dipahami oleh seorang ULB dalam melakukan pelayanan misi kontekstualisasi.

Jadi dari uraian tersebut, penting sekali bagi pasangan suami-isteri memahami apa itu pelayanan misi kontekstual karena mereka akan diutus oleh Tuhan di tengah-tengah keluarga atau orang-orang yang belum percaya dan belum mendengar Injil.  Mengapa harus secara kontekstual karena pelayanan misi kontekstual pertama, lebih efektif, efesien dan produktif dalam pekabaran Injil.  Kedua, melalui pelayanan misi kontekstual pemberitaan Injil semakin lebih cocok dan lebih relevan.  Artinya, pemberitaan Injil semakin mendarat dengan benar di dalam konteks sebagai sasaran, objek dan penerima Injil.  Konteks dalam hal ini yaitu budaya menjadi semakin terbuka terhadap pemberitaan Injil.  Namun yang perlu suami-isteri ketahui juga bahwa dalam pelayanan misi kontekstual, pemberitaan Injil tetap dalam kemurnian sesuai dengan Firman Allah dan Hukum Kristus.  Artinya, Firman Allah tetap menjadi otoritas tertinggi di dalam melaksanakan pelayanan kontekstualisasi.  Kontekstualisasi harus tunduk kepada otoritas atau kedaulatan Hukum Allah dan Hukum Kristus.[17]  Maka, pemahaman tentang pelayanan misi kontekstual sangat mempengaruhi berjalan baik dan lancarnya pelayanan misi Amanat Agung yang dikerjakan orang percaya khususnya bagi pasangan suami-isteri yang terpanggil dalam pelayanan misi kontekstual untuk suku-suku yang belum percaya.

Yang menjadi persoalannya bahwa pelayanan misi untuk suku-suku menjadi sesuatu yang asing saat ini bagi pasangan suami-isteri bahkan bagi setiap orang yang percaya.  Hal ini diindikasikan karena pada masa kini banyak sekali orang-orang yang sudah percaya hanya fokus kepada hal-hal yang didalam (internal).  Banyak orang tidak memahami bahwa pelayanan misi Allah juga bersifat sentrivugal (dari dalam dibawa keluar) artinya orang Kristen dibawa keluar bagi orang-orang yang belum percaya menjadi berkat/saksi dalam pemberitaan Injil Kristus.  Sehingga semua orang percaya tetap melakukan gerakan misioner ke seluruh dunia seperti yang diamanatkan oleh Tuhan Yesus.    Jelas bahwa Amanat Agung Tuhan Yesus adalah tugas panggilan kekristenan setiap orang percaya.  Setiap orang percaya harus menjadi saksi, garam dan terang dunia sehingga dapat membawa oranglain menjadi percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat mereka. 

Berdasarkan pemaparan penulis di atas, penting sekali bagi setiap orang percaya memahami bagaimana pelayanan misi lintas budaya secara kontekstualisasi, apalagi bagi pasangan suami-isteri yang terpanggil khusus dalam pelayanan ini.  Karena sesuai faktanya, setiap orang percaya tinggal dan hidup di tengah-tengah masyarakat yang belum mengenal kebenaran.  Melalui pemahaman pelayanan misi kontekstual, orang percaya yang hidup di tengah-tengah orang yang belum percaya dapat lebih mudah melakukan pendekatan, dengan menyesuaikan diri secara budaya dan bahasa.  Begitu pula dengan pasangan suami-isteri yang terpanggil khusus dalam pelayanan misi kontekstual, harus lebih sungguh memahami tentang pelayanan ini.  Karena untuk membawa Injil ke suatu suku, pasangan suami-isteri harus bisa menyesuaikan diri dengan suku yang dilayani atau mempelajari suku, budaya dan bahasa yang ingin dilayani.  Selain itu, pasangan suami-isteri juga harus mempersiapkan terlebih dahulu pelayanan akses (platfom/jembatan) dan metode apa yang tepat dalam pelayanan bagi suku tersebut. 

 Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis menyoroti bahwa sebagai  pasangan suami-isteri yang terpanggil secara khusus dalam pelayanan misi kontekstual harus memahami betul apa dan bagaimana pelayanan misi kontekstual.  Berdasarkan hasil pengamatan penulis di lapangan saat melayani di beberapa tempat dan lembaga misi, ada pasangan suami-isteri yang terpanggil dalam pelayanan misi kontekstual begitu bersemangat dalam pelayanan tersebut, memiliki hati mengasihi jiwa-jiwa yang terhilang dan rindu melayani jiwa-jiwa yang belum percaya.  Faktanya, pelayanan misi kontekstual yang dilakukan oleh pasangan suami-isteri ini tidak berjalan lancar, disebabkan karena mereka tidak memahami panggilan mereka dalam pelayanan misi kontekstual itu seperti apa.  Penulis melihat, bahwa hal ini terjadi karena diindikasikan dalam beberapa hal yaitu : ada pasangan suami-isteri paham bahwa pelayanan misi kontekstual artinya berkontekstualisasi.  Mereka sudah mengetahui budaya setempat atau suku yang akan mereka layani dan juga sudah memiliki platfom yang dipakai sebagai alat dalam pemberitaan Injil agar di terima dalam suku itu, namun tidak memahami metode apa selanjutnya yang harus digunakan dalam pelayanan tersebut untuk membentuk suatu kelompok pemuridan, sehingga pelayanan misi kontekstual tidak secara tuntas berjalan lancar.  Adapula, pasangan suami-isteri yang terpanggil dalam pelayanan misi kontekstual, salah satunya memahami panggilannya dalam pelayanan misi kontekstual namun salah satu tidak memahami pelayanan misi kontekstual sehingga pelayanan misi kontekstual tidak berjalan baik dilaksanakan, karena terjadi perbedaan faham yang membuat salah satu tidak mendukung pasangannya di dalam menjalankan pelayanan misi kontekstual.  Bahkan ada pasangan suami-isteri yang hanya sekedar mau diutus saja tanpa mempersiapkan lebih dahulu hal-hal yang wajib ada di dalam pelayanan misi kontekstual, sehingga pasangan ini kesusahan di dalam menyesuaikan diri dengan budaya masyarakat yang dilayani.  Melihat permasalahan tersebut, penulis menyimpulkan bahwa pasangan yang terpanggil dalam pelayanan misi kontekstual ada yang menanggapi panggilan mereka dengan sungguh-sungguh dan ada yang tidak menanggapi panggilan tersebut sehingga ada beberapa pasangan yang belum memiliki pemahaman yang baik tentang apa itu pelayanan misi kontekstual.

Dari indikasi-indikasi yang terjadi melalui data hasil pengamatan penulis sendiri di lapangan, maka penulis terdorong dan berkeinginan untuk menulis skripsi yang berjudul “Pengaruh Pemahaman Misi Kontekstual Oleh Pasangan Suami-Isteri, Terhadap Pangilan Misi Pasangan Suami-Isteri.”

 

Identifikasi Masalah 

Mengacu pada topik penelitian ini, serta merujuk kepada latar belakang masalah sebagaimana dipaparkan di atas, maka peneliti mengidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:

1.      Orang yang terpanggil dalam pelayanan misi kontekstual harus memiliki pemahaman yang baik tentang pelayanan misi kontekstual. Lalu pertanyaannya, apa pengertian dari pelayanan misi kontekstual?

2.      Di lapangan, penulis menemukan ada pasangan suami-isteri yang terpanggil dalam pelayanan misi kontekstual, namun tidak memahami dengan sungguh panggilan mereka dalam pelayanan tersebut. Pertanyaannya, sejauh mana pemahaman pasangan suami-isteri tentang panggilan pelayanan misi kontekstual?

3.      Pemahaman suami dan isteri yang baik dalam memahami panggilan misi kontekstual, akan mempengaruhi pelayanan misi kontekstual yang dikerjakan berjalan secara baik.  Bagaimana pengaruh pemahaman misi kontekstual oleh suami-isteri terhadap panggilan pelayanan misi pasangan suami-isteri?

4.      Seorang ULB/misionaris atau orang yang berkecimpung di dalam pelayanan misi khususnya misi kontekstual perlu memahami tentang pelayanan misi kontekstual secara sungguh-sungguh, supaya ketika diutus dalam ladang pelayanan, pelayanan misi kontekstual yang dikerjakan berjalan lancar.  Bagaimana implikasi judul skripsi ini bagi para pelayan misi masa kini?

 

Pembatasan Masalah

            Sesuai dengan identifikasi masalah diatas, maka penulis membatasi beberapa poin yang dianggap penting dalam penelitian skripsi ini, yaitu nomor 1, 2 dan 3:

1.      Orang yang terpanggil dalam pelayanan misi kontekstual harus memiliki pemahaman yang baik tentang pelayanan misi kontekstual. Lalu pertanyaannya, apa pengertian dari pelayanan misi kontekstual?

2.      Di lapangan, penulis menemukan ada pasangan suami-isteri yang terpanggil dalam pelayanan misi kontekstual, namun tidak memahami dengan sungguh panggilan pelayanan tersebut.  Pertanyaannya, sejauh mana pemahaman pasangan suami-isteri tentang panggilan pelayanan misi kontekstual?

3.      Pemahaman suami dan isteri yang baik dalam memahami panggilan misi kontekstual, akan mempengaruhi dan menjadikan pelayanan misi kontekstual berjalan secara baik.  Bagaimana pengaruh pemahaman misi kontekstual oleh suami-isteri terhadap panggilan pelayanan misi pasangan suami-isteri?

 

Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah dan batasan masalah tersebut di atas, maka penulis menetapkan rumusan masalah yang dinyatakan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 

1.      Apa pengertian dari pelayanan misi kontekstual?

2.      Sejauh mana pemahaman pasangan suami-isteri tentang panggilan pelayanan misi kontekstual?

3.      Bagaimana pengaruh pemahaman misi kontekstual oleh suami-isteri terhadap panggilan pelayanan misi pasangan suami-isteri?

 

Tujuan Penelitian

            Adapun tujuan penulisan berdasarkan rumusan masalah diatas, maka peniliti memiliki tujuan sebagai berikut:

1.      Untuk menjelaskan sejauh mana pasangan suami dan isteri memahami panggilan pelayanan misi kontekstual.

2.      Untuk menjelaskan tentang pengaruh pemahaman pasangan suami dan isteri tentang panggilan pelayanan misi kontekstual.

3.      Untuk menjelaskan bagaimana pengaruh pemahaman pelayanan misi kontekstual oleh pasangan suami-isteri terhadap panggilan pelayanan misi pasangan suami-isteri, agar dapat diimplementasikan dalam pelayanan misi kontekstual. 

 

Kepentingan Penelitian

Melalui penulisan hasil penelitian skripsi ini dapat memberi manfaat sebagai berikut:

 

Manfaat Teoritis

            Manfaat secara teoritis, hasil penulisan ini akan membawa kepentingan yang signifikan, yaitu:

1.      Melengkapi pemahaman dan pengetahuan khususnya bagi pasangan suami-isteri ULB dan bagi para pelayan misi mengenai pengaruh pemahaman misi kontekstual oleh pasangan suami-isteri terhadap panggilan pelayanan misi pasangan suami-isteri.

2.      Skripsi ini dapat dijadikan sumbangsih yang berarti bagi Pendidikan Teologia. 

 

Manfaat Praktis

1.      Bagi pasangan suami-isteri yang berkecimpung di dalam pelayanan misi kontekstual

Hasil dari penelitian ini memberikan wawasan dan pemahaman tentang panggilan mereka dalam pelayanan misi kontekstual untuk mengemban pelayanan misi kontekstual.

2.      Bagi para Hamba Tuhan dan pelayan misi

Hasil dari penelitian ini dapat menambah wawasan, pemahaman serta kesiapan para pelayan misi sekarang untuk mempersiapkan diri dalam ladang pelayanan.

3.      Bagi Penulis

Hasil dari penelitian ini dapat menambah wawasan, pemahaman dan pengetahuan penulis serta untuk mempersiapkan penulis kedepan dalam kesiapan di ladang pelayanan.

Metodologi Penelitian

            Metodologi penelitian ialah suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan yang terdapat dalam penelitian.  Ditinjau dari sudut filsafat, metodologi penelitian merupakan epistemologi penelitian artinya menyangkut bagaimana kita mengadakan penelitian.[18]

 

Metode Penulisan

            Dalam penelitian yang akan dilakukan penulis menggunakan metode kualitatif.  Metode kualitatif adalah suatu cara berusaha memahami dalam situasi tertentu menurut perspektif peniliti sendiri, di dalam mengumpulkan data. [19]

 

Metode Pengumpulan Data

            Untuk melengkapi data dalam penelitian yang akan dilaksanakan, maka penulis melakukan observasi dan wawancara di dalam mengumpulkan data. Penulis akan mewawancarai pasangan suami-isteri ULB yang sedang berada dalam ladang misi khususnya yang terpanggil dalam pelayanan misi kontesktual untuk mendapatkan data mengenai bagaimana pengaruh pemahaman misi kontekstual oleh pasangan suami-isteri, terhadap panggilan misi pasangan suami-isteri.  Maka penulis mulai melakukan observasi.

Observasi ialah pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti, observasi menjadi salah satu teknik pengumpulan data. Dalam menggunakan teknik observasi yang terpenting ialah mengandalkan pengamatan dan ingatan peneliti.[20]    

Menurut Husaini wawancara adalah “tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langsung.”  Dimana pewawancara disebut interviuwer, sedangkan orang yang diwawancarai disebut interviewees.  Wawancara ini berhubungan dengan penulis dan klien yang akan diwawancarai tujuannya dalam mengumpulkan data. [21]

 

Definisi Istilah

            Sebelum jauh melihat pembahasan berikutnya, perlu melihat definisi istilah untuk mengarahkan tujuan penjelasan dalam penulisan skripsi ini, sebagai berikut:

Misi Kontekstual

Misi Kontekstual adalah pemberitaan Injil yang disampaikan kepada orang lain untuk dapat dimengerti sesuai situasi pendengar.  Maksudnya yaitu, pemberita Injil membawa teks Alkitab dan mengkomunikasikannya sesuai dengan konteks kehidupan manusia secara luas dalam dimensi budaya, agama, sosial, ekonomi, dan politik dalam hubungannya dengan situasi menyeluruh dengan tujuan agar pemberitaan Injil dapat dilakukan dengan baik dan dipahami secara tepat oleh setiap orang yang hidup dalam konteks tersebut.[22]

 

 

Sistematika Penulisan

            Dalam penulisan skripsi ini penulis membagi pokok-pokok pembahasan kedalam lima bab.  Adapun pembagian dari masing-masing bab adalah sebagai berikut:

            Bab pertama berisi pembahasan tentang pendahuluan yang berisi: latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kepentingan penelitian, metode penelitian, definisi istilah, sistematika penulisan.

            Bab kedua, menguraikan kajian teori yang berisi penjelasan tentang beberapa teori mengenai pengaruh pemahaman misi kontekstual oleh pasangan suami-isteri, terhadap pangilan misi pasangan suami-isteri.

            Bab ketiga, menguraikan tentang metode penelitian yang terdiri dari tujuan dilaksanakannya penelitian, tempat dan waktu penelitian, metode penelitian, teknik pengumpulan data dan analisis data.

            Bab keempat, menguraikan hasil penelitian dan pembahasan tentang pengaruh pemahaman misi kontekstual oleh pasangan suami-isteri, terhadap pangilan misi pasangan suami-isteri.

            Bab kelima, penutup yang berisi kesimpulan, saran dan implikasi yang dapat bermanfaat bagi pembaca maupun bagi penulis khususnya.



[1]Murray. W. Downey,  Cara-cara Memenangkan Jiwa,  (Bandung: Kalam Hidup, 1957),  5.

[2]Yakob Tomatala,  Penginjilan Masa Kini, Jilid 2,  (Malang: Gandum Mas, 1998),  27. 

                [3]William Barclay, The Letters To Timothy. Titus and Philemon,  (America: WJK. Westminster, 2003),  158.

[4]Stephen Tong,  Mengetahui Kehendak Allah,   (Surabaya: Momentum, 2003),  160.

[5]W. Booth,  The General’s Letters,  (London: Salvation, 1890),  4-5.

[6]Thomas Hale,  On Being A Missionary,  (Pasadena: William Carey Library, 1993),  16.

[7]Stephen Tong,  Keluarga Bahagia,  (Surabaya: Momentum, 2009),  11-13. 

[8]Tafsiran (Alkitab.sabda).

[9]J. Verkuyl,  Etika Kristen,  (Jakarta: Badan Penerbit Kristen Gunung Mulia, [t.th]),  54.

[10]Yakob Tomatala,  Teologi Kontekstualisasi,  (Malang: Gandum Mas, 1993),  24.

[11]Young G. Chai,  Penggembalaan Bersama dengan Orang Awam,  (Jakarta: Gloria Cipta Grafika, 2005),  150.

[12]Dr. Jonar T.H. Situmorang,  Strategi Misi Paulus: Mengulas Kontekstualisasi Paulus Dalam Pelayanan,  (Yogyakarta: PBMR ANDI, 2020),  5.

[13]Andre Yonathan M.Th,  Diktat Teologi Kontekstualisasi,  (Sidoarjo: [t.p], 2018),  11-12.

[14]Budiman R. L,  Pelayanan Lintas Budaya dan Kontekstualisasi, [t.t]: Oleh Pengarang,  1991,  9.

[15]David J. Hesselgrave,  Comunicating Christ (Cross Culturally): Mengkomunikasikan Kristus Secara Lintas Budaya,  (Malang : SAAT, [t.th]).

[16]Buku Pembelajaran Penulis dari Yayasan Tibala,  Malang-Jawa Timur. 

[17]Tomatala,  Kontekstualisasi,  12.   

       [18]Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar,  Metodologi Penelitian Sosial,  ( Jakarta : Bumi Aksara, 1996),  42.

   [19]Ibid,  81.

   [20]Ibid,  54.

   [21]Ibid,  57-58.

[22]Andre Yonathan,  Diktat Teologi Kontekstualisasi,  (Sidoarjo, 2018),  11-12.

0 komentar: